Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #7

Penyergapan

Kami masih kehabisan kata-kata setelah mengetahui tujuan sebenarnya dari perusahaan energi itu. Jelas sudah, mereka memang berniat mengeksploitasi wilayah untuk pelebaran bisnis. Rinderpest dan rice blast adalah senjata pemusnah masal. Memang tidak berefek secara langsung pada manusia, tapi efek jangka panjangnya akan sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Rinderpest adalah penyakit yang menyerang ternak, menyebabkan mereka mati bergelimpangan. Sedangkan rice blast adalah virus yang menyebabkan gagal panen untuk tanaman pertanian jenis apapun. Senjata pemusnah masal harusnya sudah dihilangkan sejak perubahan kebijakan global beberapa abad silam. Entah bagaimana perusahaan ini mendapatkannya.

Aku mengusap wajah. “Mereka ingin mengusir Paria secara halus.”

“Kita harus segera memperingatkan organisasi lingkungan dan budaya untuk menunda acara sosial yang akan diselenggarakan perusahaan itu.” William berkomentar.

“Kau tahu dengan posisi divisi kita, tidak akan semudah itu memperingatkan mereka.” Richard mengingatkan. Dia benar, inilah yang menyusahakan dari posisi kami sebagai divisi rahasia. Kami tidak bisa langsung eksekusi jika menyangkut organisasi lain. Kami harus memikirkan cara yang lazim agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Ada tiga organisasi utama di dunia. Pertama adalah perserikatan negara – dimana kami bekerja, kedua adalah kesehatan, terakhir adalah lingkungan dan budaya. Perserikatan negara mengurus persoalaan hubungan antar negara, temasuk kebijakan keamanan dan ekonomi. Organisasi kesehatan merupakan organisasi yang sangat penting mengingat jejak sejarah dengan terjadinya wabah atau penyakit lainnya. Terakhir adalah organisasi lingkungan dan budaya, mereka unik. Dari namanya terdengar mereka adalah organisasi yang paling menyenangkan, tapi jangan salah, mereka bekerja lebih keras dari siapapun untuk melindungi lingkungan dan budaya. Terutama masalah budaya, hanya tersisa 57 suku tradisional yang tersebar di seluruh dunia. Itu adalah jumlah yang sangat sedikit, tiap suku memiliki populasi 5000-25000 jiwa saja, sangat mengkhawatirkan. Di Rigel hanya ada 6 suku tradisional yang tersisa, suku terbesarnya adalah Paria – yang sekarang sedang terancam keselamatannya. Paria memiliki populasi 16.000 jiwa, mereka tinggal di pegunungan paling utara negara bagian Rigel.

Aku berpikir sekilas, mantap memutuskan. “Oke. Richi, Will segera hubung-”

“Yak! Sampai di sini saja aksi kalian tuan-tuan!” Sebuah suara menggelegar memotong kalimatku. Spontan kami bertiga menoleh ke belakang. Di sana telah berdiri tiga pemuda asing, masing-masing menenteng sebuah pistol di tangan. Dari mana mereka mendapatkan senjata? Kenyataan mereka menodongkan senjata sudah cukup untuk kami menyimpulkan - mereka adalah suruhan perusahaan energi itu. Mereka menggunakan pakaian serba hitam, dua orang berambut gondrong bak penyanyi rasta dan satu lagi berkepala botak, sepertinya dia adalah pemimpinannya. Sial! Bagaimana bisa ada penyusup di markas baru ini dan kami sama sekali tak menyadarinya.

Dor! Dor! Dor!

Tiga tembakan hampir bersamaaan dilemparkan tepat ke arah kami. William langsung melompat ke atas, bergelayutan di balkon rendah dalam mercusuar kemudian melompat keluar dari jendela. Richard dengan sigap mengamankan microchip dari slot komputer, memasukkannya ke dalam saku lalu mengikuti jejak William. Sedangkan aku yang paling dekat dengan sumber tembakan, menghindarinya dengan satu buah salto ke belakang menahan tubuhku dengan satu tangan di lantai. Aku menatap geram pada tiga orang itu. Sekarang hanya aku satu-satunya yang berada dalam mercusuar – terlambat melarikan diri. Aku tidak terluka, tapi perangkat komputer super canggih itulah yang jadi tumbal atas tembakan tadi.

“Kejar dua orang itu! Ini bagianku!” Seru si pemuda botak. Dua orang berambut gondrong segera pergi mengejar William dan Richard. Tatapanku ikut mengiringi kepergian dua orang gondrong itu, kemudian mengalihkan fokus pandanganku kembali pada pemuda botak di depanku. William dan Richard pasti akan baik saja, pikirku meyakinkan.

“Dimana microchip yang kalian curi, hah?!” Si botak setengah berteriak padaku. Aku diam tak menjawab, masih dalam posisi agak merunduk. “Hei, jangan diam saja. Dimana benda itu?!” Dia mengawasi gerakanku dan benar-benar membentakku sekarang.

Lihat selengkapnya