Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #9

Perjalanan Kembali

02:30 dini hari. Aku menutup panggilanku dengan Rhea. Lima menit yang lalu aku memutuskan untuk bertemu dengannya sebentar di Rigel sebelum melanjutkan misi. Setelah sampai di sana kami masih akan punya waktu beberapa jam sebelum memulai operasi di malam harinya. Richard dan William yang akan mengurusnya. Di sela itu, aku luang. Luka di dahiku sudah rapi kutempel perban tipis, antibiotik yang kugunakan juga berguna untuk mempercepat penyembuhan.

“Semua siap, Theo.” Seru Richard, aku menoleh mengangguk. Kami bergerak efektif ke dalam kapsul, memerintahkannya memakai kecepatan penuh menuju bandara markas.

Kurang dari satu setengah jam kami sampai di markas Missing Link. Jet sudah terparkir rapi di salah satu landasan pacunya. Kami langsung masuk ke dalam jet berkapasitas 8 orang itu. Markas Missing Link memiliki bandara sendiri yang berisikan 5 jet berkecepatan hypersonic 10 mach. Dengan kecepatan itu kami bisa sampai ke Rigel dalam waktu satu jam. Hanya organisasi kami yang memiliki jet jenis ini. Tentu saja masyarakat awam tidak tahu keberadaan jet dengan kecepatan mengerikan ini. Jet yang diperuntukkan komersil hanya berada di batas supersonic dengan kecepatan maksimal 4 mach saat ini. Itupun masyarakat harus membayar ongkos 30 kali lipat dari penerbangan komersil standar yang memiliki kecepatan 2 mach saja.

Setengah abad lalu, seorang ilmuwan jenius menemukan moda transportasi ini. Aman digunakan dengan rekayasa yang dia lakukan untuk meredam semua hentakan, suara berlebihan, dan hal lain yang membahayakan penumpang. Dia juga memberikan bonus dengan membuat penumpangnya tetap bisa bebas melakukan panggilan telepon. Akibat lobi-lobi bisnis dan keamanan, pemimpin negara sepakat merahasiakan jet hypersonic untuk keperluan Missing Link saja.

“Siap mengudara, Capt?” Sapaku pada orang dibalik kemudi.

Pria itu menoleh memberi hormat “Kapan saja kau beri aba-aba, Theo.” Aku mengacungkan jempol. Memberi kode kami akan siap dalam 5 menit. Dia menjawab dengan anggukan.

Setiap tim Missing Link difasilitasi dengan jet untuk keperluan seperti ini. Pilot tim kami - namanya Tobias - dipilih dari yang terbaik, karena sungguh tak mudah mengendalikan jet hypersonic ini. Tobias adalah warga negara pedalaman Dibinta, kulitnya legam dengan sorot mata yang tajam. Dia memilih membotaki kepala sebagai gaya rambutnya. Semua pilot jet hypersonic di organisasi memiliki satu hal yang sama, mereka adalah tentara angkatan udara yang dipecat dengan tidak hormat setelah menyelesaikan sebuah misi rahasia. Tentu saja itu bualan para atasan angkatan udara kepada bawahannya. Semua jenderal posisi keamanan adalah anggota perserikatan negara yang bahu membahu merekrut tim terbaik demi kepentingan Missing Link. Tidak ada yang tahu apa misi terakhir yang dirahasiakan itu sehingga membuat 5 orang pilot dipecat dengan tidak hormat. Teman mereka yang tak suka mungkin akan tertawa senang dengan itu, tidak tahu saja ternyata orang-orang yang mereka tertawakan adalah manusia terbaik untuk menjalankan misi lebih elit.

Tepat 5 menit setelah kami selesai bersiap dan memasang sabuk pengaman, jet melesat mendesing samar. Hentakan pertama selalu menjadi sensasi yang menggetarkan. Secanggih apapun ilmuwan tua jenius itu melakukan rekayasa untuk meredam hentakan jet ini, kondisi biologis manusia tetap akan memerintah adrenalin untuk meningkat. Kami bertiga spontan berpegang pada pegangan kursi sampai jet mencapai ketinggian stabilnya kurang dari sedetik kemudian.

***

9 Mei 2206. Pukul 15:00 sore. Jet sedang berjalan pelan untuk posisi parkir di bandara markas Missing Link ibukota Rigel. Kami bertiga memanfaatkannya untuk sejenak mengatasi jet lag hasil perbedaan waktu 10 jam yang hanya ditempuh dalam waktu satu jam.

Lihat selengkapnya