Seorang pelayan berjalan mantap, di lengan kirinya serbet seputih merpati menggantung elegan. Usianya sudah tak muda lagi, namun tubuhnya masih setegap patung pahlawan. Pelayan itu mengetuk pintu dari kayu jati besar berukir indah di depannya. Jenis pintu yang sudah sangat jarang digunakan di masa kini kecuali pemilikinya adalah konglomerat besar yang berani membayar tinggi untuk kayu mewah itu. Dia melangkah setelah suara di dalam ruangan menyuruhnya masuk. Seorang pria sipit dengan tubuh kurus sudah menanti di sana. Ruangan besar bergaya klasik, satu-dua lukisan terkenal hasil lelang tergantung rapi di kanan-kiri tembok. Di salah satu sisinya berdiri sebuah rak besar dipenuhi buku-buku yang kebanyakan bergenre detektif.
“Laporan.” Pria sipit itu berkata singkat.
“Eksekusi lancar seperti yang anda inginkan.” Pelayan itu menjawab efektif tak kalah singkat.
Kacamata bening pria itu menghalangi matanya yang membentuk garis saat dia tersenyum menyeringai mendengar laporan pelayannya. “Bagus. Kembali ke tempat.” Pelayan itu mengangguk mundur teratur. Belum sampai pelayan itu keluar, si pria sipit sudah berbalik meraih biola di meja kerjanya. Dia mengelus senarnya sayang, meletakkannya manja ke posisi di bahu kiri. Dia mulai menggesek senarnya, membuat semua orang yang mendengar tidak nyaman dengan nada yang dihasilkan. Pria sipit itu tersenyum, menyeringai, terkekeh, lalu tergelak sendiri melebarkan tangannya melempar biola ke sembarang arah.
Pelayan tua menatap tanpa bersuara, beranjak keluar dengan elegan menutup pintu. Dia termenung berdiri saat mendengar suara gelak tawa di dalam ruangan. Ingatannya membawanya kembali ke 30 tahun lalu saat majikannya masih berusia 12 tahun.
***
30 tahun lalu.
Sore itu hujan deras mengguyur mansion besar bernuansa krem dan emas yang megah. Tamannya yang besar dengan beraneka tanaman membuat satu-dua binatang bertandang sekedar mencari makan atau membuat sarang rahasia yang tak diketahui sang pemilik taman.