Mari kita beralih ke utara Rigel, ke barisan pegunungan yang berjajar indah. Seorang pria berbadan kekar berdiri di beranda rumah terbesar di perkampungan yang dipimpinnya, ujung atap jeraminya bergoyang pelan diterpa angin malam. Salah satu tangan pria itu terlipat yang ke belakang punggungnya berhasil menambah kesan wibawa yang tinggi.
Wajahnya yang menyenangkan menatap langit yang mulai memperlihatkan gemintang. Mata sebening kristal itu legam sempurna merefleksikan gugusan bintang. Kulitnya gelap namun tak selegam bola matanya. Rambutnya gondrong sepunggung menyentuh jubah yang terbuat dari samakan kulit babi hutan. Kedua telinganya digantungi anting besar, membuat ujungnya tertarik ke bawah karena beban yang ditanggung. Di kepalanya bertengger penutup kepala dari bulu-bulu burung. Di kedua pelipisnya tampak bulatan merah, tanda kedewasaanya saat berumur 15. Dua bulatan lebih kecil tampak di bawah matanya, dua bulatan yang hanya dimiliki olehnya dari semua penduduk perkampungan. Tanda pemimpin.
“Hidangan sudah siap sarki[4].” Pria itu menoleh ke sumber suara, tersenyum mengangguk. Dia memberi kode bahwa akan menyusul sebentar lagi. Sumber suara itu menunduk patuh, berjalan mundur. Sarki adalah sebutan untuk kepala suku di sini. Suku Paria. Sarki sangat suka menghabiskan waktu sebelum makan malam untuk memandang gemintang juga untuk memastikan penduduknya selesai dengan urusannya di siang hari. Para warga kampung sudah mulai masuk ke dalam rumah menikmati santap malam dengan keluarga kecil mereka, tampak dengan rumah-rumah yang mulai menghidupkan obor atau penerangan remang lain di dalamnya. Setelah puas, sarki tersenyum mengangguk. Dia lebih tenang karena sebagian besar penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Pria itu melangkah masuk ke dalam rumahnya sendiri yang letaknya lebih tinggi dari rumah penduduk kebanyakan.
Di dalam, sarki sudah di sambut oleh keluarganya. Golongan lelaki yang ada di ruangan tak kalah kekar dengannya. Paman dan kakak lelakinya sudah duduk di kiri-kanan lingkaran kecil itu, menyisakan bagian tengah untuknya duduk.
“Kau selalu membuat kawuna[5] harus menunggumu untuk makan malam, Akintunde.” Pria di kiri dengan warna mata berbeda menegurnya saat dia masuk. Itu adalah kakak lelakinya - Akinwole. Pria tua di samping kanan terkekeh mendengar suara tegas keponakan sulungnya itu.
“Tak masalah, Akinwole. Aku tak keberatan menunggunya.” Pria sekitar 70 tahun itu mengelus jenggotnya. Mata kirinya tertutup oleh dua luka sayatan yang dalam, menyisakan satu mata kanan yang mulai rabun dimakan usia. Tampilan wajah orang-orang di ruangan juga hampir sama dengan sarki mereka. Bedanya, mereka hanya memiliki bulatan merah di pelipisnya. Satu-dua orang yang lebih tua dari sarki memiliki tambahan garis merah melintang di pipi, tanda mereka adalah penasihat atau tetua suku. Sedangkan pamannya memiliki dua garis melintang di pipinya, tanda posisi tertinggi kelompok tetua suku.
“Dia terlalu memanjakan penduduk kampung, kawuna. Bukankah dia terlalu lembut jika menyangkut masalah mereka?” Akinwole membela diri. Pamannya menggeleng menepuk bahu keponakan sulungnya itu.
“Maaf dan-uwa[6], aku hanya memastikan penduduk kampung sudah selesai dengan urusan mereka. Aku tidak bisa makan sendirian sedangkan mereka masih bekerja.” Akintunde si sarki mengambil posisi duduk di tengah kedua pria yang sangat dihormatinya itu. Akinwole hanya mendengus, tak mau berdebat karena dia yakin orang-orang sudah lapar demi menunggu adiknya membuka acara makan mereka. Akinwole melipat tangannya di dada, kedua matanya tertutup menghalangi warna mata berbeda yang tak kalah indah dari mata legam adiknya. Hidangan malam itu dihiasi beberapa vas kecil berisi bunga bluebell, beberapa detik setelah puja-puji pada Sang Kuasa dan doa untuk leluhur, mereka memulai acara makan.