Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #14

Nostalgia

Aku sampai di apartemen lebih cepat dari yang kuduga, dan dalam keadaan lapar. Astaga, aku lupa mengajak Theo makan malam tadi. Aku terlalu tenggelam dalam kesenanganku menghabiskan waktu dengannya meskipun hanya beberapa jam. Terlalu asik mencoba wahana dan mencoba camilan street food yang berjajar di sana. Semoga dia tak lupa makan, dia akan terbang ke wilayah Paria pukul 9 malam ini.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian tidur aku berjalan ke pantry, merebus spageti untuk mengganjal perut. Padahal aku sudah membayangkan akan pergi mengunjungi Ayah dan Ibu bersama Theo besok. Oh ya, Ayah dan Ibu. Aku melirik jam dinding sekilas, memutuskan akan laporan sebelum beranjak tidur nanti. Aku menyiapkan makanan simpel itu dengan melamun memikirkan apa yang akan aku lakukan akhir pekan ini. Aku bahkan menolak tawaran menonton film dari tiga teman makan siangku tadi. Empat menit kemudian, spageti siap dengan topping instannya. Aku berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa, menyalakan televisi sekedar menemaniku dengan suara tanpa benar-benar menontonnya. Sebuah iklan lomba marathon sekilas muncul di televisi, sukses membawaku ke kenangan masa high school saat Theo berhasil membuat hampir semua siswa mengikuti lomba lokal yang diadakan oleh klub marathon sekolah.

***

Masa high school Theo dan Rhea. Hari Jumat.

Semua siswa yang tak sengaja melihat kejadian ini menoleh. Beberapa ada yang sampai berhenti hanya untuk menonton apa yang akan terjadi selanjutnya di depan ruang klub marathon itu. Gedung kegiatan seluruh klub ada di sisi selatan. Ruang klub marathon sendiri ada di lantai satu dari gedung besar empat lantai. Posisi itu menjadikannya tampak jelas dari seluruh penjuru gedung lainnya yang berkeliling membentuk persegi dengan lapangan di tengahnya. Gedung utara dan barat adalah ruang kelas, sedangkan di timurnya adalah gedung tempat kantor guru, perpustakaan, laboratorium, UKS dan lainnya yang memiliki bentuk gedung lebih kecil.

Aku melihat kejadian itu dari lantai 3 gedung utara dengan Jose. Lihatlah di sana, Theo masih berdiri di depan ruang marathon setelah mengucapkan tantangan keras-keras tepat di depan wajah ketua klub. Astaga, belum ada 10 menit aku meninggalkannya di UKS setelah dikeroyok oleh mereka. Luka di bibirnya bahkan masih membekas jelas. Pagi tadi Theo ketahuan telah dengan sengaja mengacak-acak ruang klub itu, dia mengakuinya sendiri. Dia benar-benar serius menantang mereka, namun sebaik apapun Theo dalam bela diri tetap saja akan gagal karena kalah jumlah. Ceramah guru konseling pagi ini sepertinya juga tak membuatnya jera, malah membuatnya melemparkan tantangan dengan hal yang sangat dikuasai klub itu. Lomba lari.

‘Theo apa yang kau lakukan?’ Aku memekik di kepalanya.

‘Sssh, perhatikan saja.’ Suaranya balik menggema di kepalaku, menyuruhku diam. Aku mengusap wajahku tegang, khawatir dia akan kembali dikeroyok. Aku sudah hampir turun menyusul tapi Jose menahan bahuku, memintaku tetap di sini. Jose menatap sendu pada lengan kananku yang masih terbalut perban. Aku memberikan ekspresi bertanya, hanya dijawab dengan menggerakkan dagu yang berarti ‘Perhatikan saja’. Aku menurut, ini berarti Jose terlibat.

Setelah beberapa lama tak ada jawaban dari ketua klub itu, Theo sengaja melempar pertanyaan yang membuatnya terpancing. “Bagaimana? Kau takut?”

Ketua klub itu masih diam, tampak menahan amarahnya. Theo mengangkat bahu, dengan tenang melakukan gerakan selanjutnya. Theo meletakkan telapak tangannya di samping daun telinganya, memberi kode meminta dukungan pada siapaun yang sedang melihat ini. Di sampingku Jose menginisiasi sorakan untuk memancing siswa lain bersorak. Tak perlu waktu lama untuk siswa lain terpancing ikut bersorak meminta klub marathon menerima tantangan. Astaga, ternyata ini yang mereka rencanakan. Theo memberi tanda dengan tangan lainnya yang masih bebas, kode untuk bersorak lebih keras. Ajaibnya para siswa dengan patuhnya menurut menjadi lebih riuh. Hal ini cukup untuk membuat ketua klub marathon menggeram keras berteriak. “Baiklah!”

Semua siswa senyap satu detik untuk kemudian disusul dengan kehebohan selanjutnya. Para siswa kembali berseru-seru semangat. Theo menyeringai puas.

Lihat selengkapnya