Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #16

Perbatasan

Pria berpawakan kecil itu berada di perbatasan suku Paria. Wilayah di tengah hutan pegunungan yang disulap sebagai pos persediaan dan klinik khusus untuk suku Paria. Malam ini dia berdiri di tepi landasan helikopter yang akan mendarat tak lama lagi. Dia menikmati indahnya gemintang yang bertabur di atas kepalanya, memejamkan mata merasakan dengan seluruh indera perasanya hembusan angin malam yang lembut. Wajah tirus yang selalu riang itu menyunggingkan senyum melihat lampu helikopter berkelip di kejauhan, tamu yang ditunggunya sudah mendekat.

Dia membuka matanya lebar-lebar untuk melihat mereka. Capung besi itu kini sudah terparkir rapi di tengah landasan. Menyisakan beberapa hembus angin yang dihasilkan putaran senyap baling-balingnya. Dia bisa melihat tiga lelaki tampan turun dari kendaraan udara itu. Dia mengulurkan tangan berkenalan. Dari kenalan singkat itu dia tahu lelaki berambut coklat gelap agak ikal itu bernama Theo – dahinya tengah terluka setelah menabrak pintu toilet pesawat, lelaki berambut pirang dengan bintik halus di sekitar wajahnya adalah William, satu lagi berambut hitam dengan alis tebal bernama Richard. Mereka memiliki tinggi hampir sama seperti memang diatur demikian. Postur tubuh tegap dengan wajah membuat orang lain betah memandang. Cukup wajar jika mengingat mereka adalah pegawai perpustakaan pusat organisasi perserikatan negara yang selalu berurusan dengan pengunjung. Pria kecil itu tersenyum, menyambut mereka riang.

***

Landasan helikopter ini ada di belakang gedung utama. Di sampingnya terdapat garasi dengan dua helikopter yang terparkir rapi, peralatan perawatan juga lengkap di dalamnya. Kami baru saja sampai di perbatasan Paria disambut oleh Tuan Damian. Seperti kata Madam Starla, Tuan Damian adalah orang yang menyenangkan, kami bertiga cepat akrab karena keramahanya. Tidak salah kalau dia menjadi salah satu orang yang pernah mendapat penghargaan langsung dari Madam Starla karena loyalitasnya terhadap pekerjaan.

“Maafkan kami, Tuan Damian. Karena perubahan jadwal yang mendadak dari perpustakaan pusat perserikatan negara anda jadi harus mengantar kami malam ini juga.”

“Tidak masalah Theo, aku malah senang karena bisa menunjukkan pada anak muda seperti kalian kesenangan menyibak hutan di malam hari untuk menuju Paria.” Tuan Damian terkekeh, wajah riangnya seperti menyinari gelap malam di sekitarnya. Kami bertiga terpesona.

“Apakah benar-benar tidak ada akses lain kesana selain melewati hutan?” William bertanya.

“Demi menjaga keaslian mereka, melewati hutan dengan waktu tempuh tiga jam jalan kaki sudah sangat dekat jika dibandingkan suku-suku lainnya. Di Silma dan Dibinta misalanya, rata-rata waktu tempuh perjalanan dari perbatasan ke wilayah sukunya adalah tujuh jam. Kalian sangat beruntung karena ditugaskan ke Paria. Aku kasihan pada teman-teman kalian yang diminta mendokumentasikan suku-suku di sana.” Kami bertiga ikut tertawa mendengar candaan Tuan Damian. Dia tidak tahu bahwa pekerjaan kami yang disebutkannya hanyalah alibi setengah berbohong yang dikatakan Madam Starla. Dia tak perlu tahu dan memang tak boleh tahu alasan sebenarnya.

“Richard, sepertinya kau lebih kelelahan daripada kedua temanmu ini. Kau baik-baik saja?” Aku terkesan Tuan Damian cukup jeli memperhatikan wajah Richard yang memang seharian ini belum sempat istirahat untuk mengolah data.

“Eh? Aku hanya kurang tidur, Tuan Damian. Tak perlu khawatir, aku sudah biasa dengan jadwal mendadak yang diberikan perpustakaan pusat.” Richard berdalih.

“Kalian yakin tidak ingin istirahat dulu? Staff  di sini bisa menyiapkan cokelat panas untuk kalian. Tidak lama, paling hanya 20 menit kita menyiapkan dan menghabiskannya.”

Lihat selengkapnya