Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #17

Jumat Malam

Mataku mengerjap menatap langit-langit kamar, mengubah posisi tidurku ke kiri dan ke kanan untuk kesekian kalinya. Sudah hampir satu jam aku hanya berbaring tak kunjung memejamkan mata. Memang tidak biasanya aku tidur awal dan saat ini kepalaku penuh pikiran tentang Theo. Kami akhirnya berada di negara yang sama tapi hanya sempat bertemu beberapa jam saja.

Aku berbalik lagi, mengintip jam digital hologram di atas meja dari balik selimut tebalku. Jam 22:20. Seharusnya Theo sudah sampai di perbatasan Paria 20 menit yang lalu. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apakah dia sempat makan malam? Lebih penting lagi apakah dia cukup istirahat? Aku mengacak rambutku, menyingkap selimut, beranjak dari tempat tidur. Aku membiarkan lampu kamarku tetap mati. Membuka lebar-lebar tirai jendela kamar apartemenku di lantai enam belas ini. Cahaya lampu kota di mode malam masuk dengan nuansa biru lembutnya.

Aku berdiri menatap hiruk pikuk jalanan utama kota di kejauhaan, menghela nafas dan memejamkan mata. Aku mulai merenggangkan tanganku, menggumamkan nada sesuka hatiku, menggerakkan kaki mengikuti alunan yang kuciptakan sendiri. Menari. Aku melakukannya untuk kesenanganku sendiri, mengalihkan pemikiran yang kadang penuh menjejali otak. Sejenak tenggelam dalam senandungku. Hanya Theo dan Kanna yang tahu kebiasaan anehku ini, Kanna tak sengaja mengetahuinya saat kami masih menjalani pendidikan magister. Memergokiku bertelanjang kaki dibawah rintik hujan di halaman belakang apartemenku. Dia memang satu-satunya teman yang punya akses ke apartemen ini. Aku pun punya akses ke apartemennya. Lebih memudahkan kami saat sedang mengerjakan tugas bersama, sharing pengetahuan, atau sekedar mengobrol sampai larut malam.

Aku masih menikmati iramaku saat irama lain berdering di telinga kiriku. Aku menghentikan gerakan memeriksa dari siapa gerangan panggilan ini berasal. Kanna. Aku menjawab cepat panggilan itu, pura-pura memakinya karena mengganggu tidurku.

“Aku tahu kau belum tidur Rhe, lebih tepatnya tak bisa tidur. Bahkan kupikir sekarang kau sedang tidak di atas tempat tidur, entahlah mungkin sedang menari dengan senandungmu sendiri.” Kanna menyebutkan tebakannya. Aku bisa membayangkan wajahnya yang sedang menyeringai sekarang. Aku memutar bola mata karena tebakannya tepat, sepertinya dia sudah hafal kebiasaanku dari A sampai Z.

“Ada apa?” tanyaku singkat.

“Aku menelpon untuk menghibur gadis kesepian di Jumat malam yang indah. Setidaknya hargailah usaha pahlawan berkuda putihmu ini dengan respon yang lebih menyenangkan.” Aku terkekeh mendengar bualan Kanna, tahu sekali apa yang ingin dia lakukan dengan menyebutkan kata ‘menghibur’.

“Di tempat biasa?”

Lihat selengkapnya