Aku terbangun pukul 09:00 pagi dan menyadari Kanna sudah tak ada di sofa. Aku mengurungkan niat melanjutkan tidur sebentar lagi demi mencium bau omelet yang masuk ke indera penciumanku. Aku menyingkap selimut, duduk mengumpulkan seluruh kesadaran sebelum menoleh ke belakang dan mendapati Kanna sedang menatapku dengan menopang dagu di pantry. Senyum menyeringai menghiasi wajahnya yang sudah segar karena mandi pagi.
“Selamat pagi tuan putri, saya sedang menyiapakan nasi goreng omelet. Semoga bisa memuaskan perut lapar anda.” Aku bersungut-sungut mendengar ledekannya. Aku beranjak dari tempat tidur ekstra itu, melipat selimut dan menekan salah satu tombol di kasur. Kasur itu otomatis mengeluarkan udara yang dikandungnya, menggulung diri sendiri sampai ukuran sebesar kepalan tangan lagi. Aku menyerahkan kedua benda itu pada asisten robot Kanna yang mendekat menawarkan bantuan.
“Kenapa kau tidak tidur di kamar saja semalam?” Kanna bertanya sambil meneruskan pekerjaannya menghidangkan nasi goreng omelet ke piring. Dia sama denganku, urusan makanan lebih suka menyiapkan masakan sendiri daripada menggunakan asisten robot untuk mengerjakannya. Asisten robot Kanna kebanyakan hanya digunakan mengambil atau menempatkan sesuatu untuk membantunya sehari-hari, aku sendiri malah tidak memiliki asisten robot di apartemen.
“Sang nona rumah terbaring tak berdaya di sofanya semalam, mana mungkin aku menguasai tempat tidurnya diam-diam?” Kanna tertawa, masih menyiapkan dua gelas jus jeruk di pantry. Aku menghampiri wastafel di dekatnya, mencuci muka sembarangan sekedar mengusir beban di mata yang masih tersisa, membantunya membawa makanan dan jus jeruk ke meja makan. Kami duduk berseberangan. Setelah memanjatkan doa, kami bersiap untuk menyantap nasi goreng omelet. Aku juga sudah tak sabar karena tahu reputasi memasak Kanna yang tidak bisa diragukan lagi. Belum sempat aku menyuap, Kanna memekik teringat sesuatu.
“Tunggu, sebelum itu.” Dia berlari ke halaman belakang apartemennya, memanggil asisten robot untuk mengikutinya. Aku terbengong, tapi menurut menunggu apa yang dilupakannya. Tak lama setelah bunyi gemerisik di halaman belakang, dia kembali masuk ruangan diikuti asisten robotnya yang membawa setandan pisang berwarna kuning cerah. Aku menepuk dahi, hampir lupa kalau Kanna adalah penggemar buah ini. Dia bahkan secara pribadi menanam tiga pohonnya di pot besar halaman belakang apartemen.
“Astaga, Kanna. Kukira kau melupakan hal penting.” Aku tak habis pikir dia menunda sarapan kami hanya untuk setandan pisang.