Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #22

Penyelidikan

Pukul 10:00. Kami masih belum mendapatkan apapun setelah empat jam penyelidikan berkedok dokumentasi aktivitas suku ini. Tak ada yang janggal dengan hasil peternakan dan ladang, tak ada gagal panen, juga tak ada ternak yang sakit. Kami cukup frustasi karena hanya punya waktu sampai senja, setiap kegiatan di suku harus berhenti saat itu. Kami sudah menyusuri rumah penduduk, beramah-tamah dengan mereka untuk ikut dalam aktivitas mereka terutama beternak dan berladang. Pada suasana yang sudah terang itu kami jadi tahu, bunga menggerombol yang selalu ada di halaman rumah penduduk yang dini hari tadi tidak bisa kami deteksi adalah bunga pasque. Mereka sedang mekar di performa terbaiknya, menghiasi rumah monoton suku ini dengan warna-warninya yang menawan.

Aku sudah melepas perban dari dahiku pagi ini, antibiotik yang kugunakan bekerja sempurna dengan cepat menutup luka. Sekarang ini, aku sedang berdiri di salah satu bukit di seberang rumah utama. Tidak terlalu tinggi tapi masih bisa digunakan untuk melihat hamparan sawah, ladang dan peternakan yang terhampar di kanan-kiri. Aku juga bisa melihat lapangan luas dengan bangunan seperti panggung di salah satu sudut yang sengaja belum kami datangi. Bangunan itu terpisah jauh dari pemukiman dan tempat aktivitas penduduk, lapangan yang terbentang luas di sekelilingnya bahkan bisa digunakan untuk memarkir beberapa helikopter.

Aku menyapu kembali daerah pemukiman suku Paria ini dan bisa melihat Richard masih berkutat di peternakan dengan beberapa penduduk. Mereka tampaknya sedang berada di tengah percakapan santai karena kulihat sesekali mereka tertawa di sela obrolannya. Aku tahu Richard sedang berusaha menuntun pembicaraan ke topik apakah ada kejanggalan pada ternak suku akhir-akhir ini. Tuan Damian sudah kembali ke rumah utama, dia hanya mengantar kami pagi tadi untuk berkenalan dengan pada warga, selanjutnya kami diijinkan berkeliling sendiri mendokumentasikan apa yang diperlukan. Aku mengalihkan pandangan mencari William yang ternyata sedang berlari kecil ke arahku, tadi aku terpisah dengannya saat kembali dari lumbung desa.

“Kau dapat sesuatu?” Tanyaku saat dia mendekat. Dia menggeleng.

“Tidak ada, tapi aku dapat informasi menarik tentang tempat yang bisa memanjakan mata.”

“Astaga Will, kita tidak sedang berlibur.” Aku menepuk dahi mendengar apa yang dikatakannya. Dia buru-buru menyuruhku memelankan suara.

“Ini bukan tempat biasa, Theo. Kau ingat bunga bluebell dini hari tadi kan?”

“Ada apa dengan itu?”

“Tidakkah kau perhatikan tidak ada satupun warga di sini yang menanamnya? Mereka hanya punya gerombolan bunga pasque di halaman. Jadi dari mana mereka mendapatkan bluebell?”

“Itu sepertinya tidak penting, tapi kau benar.” Aku menopang dagu, mengiyakan. William menyeringai.

“Nah kau harus berterimakasih padaku, karena masalah kecil ini membawa hal besar.”

“Maksudnya?”

“Tadi aku terpisah denganmu karena menanyakan perihal bunga bluebell pada sekumpulan warga yang sedang bekerja di ladang. Ternyata itu adalah bunga tanda terimakasih untuk setiap makanan yang dihidangkan. Mereka juga berbaik hati menunjukkan tempat dimana mereka biasa mengambil bluebell tiap harinya. Hanya 45 menit perjalanan dari sini.”

“Lalu apa istimewanya tempat itu?”

“Tentu saja keindahannya.” Kali ini aku benar-benar menjentikkan jari ke dahi anggota timku ini. Dia mengaduh tapi aku tak peduli.

“Kau benar-benar tak bisa diajak bercanda sedikit kalau sudah menyangkut pekerjaan, Theo.”

Lihat selengkapnya