Setelah makan siang kami diantar ke dalam bangunan dengan panggung di depannya. Kami memperhatikan penjelasan dengan patuh dan lebih banyak diam. Kami pun canggung saat memeriksa tiap sudut ruangan sebesar aula ini. Bukan tanpa alasan kami jadi pendiam begini. Tuan Damian tidak bisa menemani kami karena sarki ingin membicarakan beberapa hal tentang hubungan Paria dengan organisasi lingkungan dan budaya. Sialnya orang yang ditunjuk untuk menemani kami ke dalam bangunan adat ini tak lain adalah Akinwole, orang yang paling ingin kami hindari. Kami memang sudah biasa menyembunyikan emosi, hanya saja entah mengapa aura intimidasi pria ini sepertinya terlalu kuat. William yang biasanya paling cepat akrab saja tidak terlalu banyak mengajak bicara sejak tadi.
“Apa lagi yang ingin kalian ketahui?” Akinwole bertanya tegas. Sungguh kami tahu dia tidak bemaksud mengagetkan kami. Seperti Tuan Damian yang berwajah default riang, mungkin Akinwole juga demikian, hanya berkebalikan saja. Garang. Dia sudah menjelaskan banyak hal di ruangan ini, tentang panah, tombak, pajangan kepala binatang hasil buruan, singgasana sarki, hingga gulungan peninggalan sarki sebelumnya yang tersusun rapi di rak-rak berdebu. Dia juga menjelaskan efektif tentang prosesi adat seperti sedekah hasil bumi, pawai panen masal, pemberian tanda kedewasaan, sampai upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian. Kami teratur mencatat dan mendokumentasikan hal penting ke dalam memori anting kami, namun tampak jelas Akinwole terganggu dengan gawai kami ini. Dia selalu mendengus tiap kali kami bergerak mengetikkan sesuatu di layar yang tak bisa dilihatnya karena hanya pemilik anting yang bisa melihat layar itu.
“Akinwole, terima kasih. Kau sangat membantu karena telah menjelaskan banyak hal pada kami. Namun ada satu hal lagi yang ingin kami ketahui, semoga kau tak berkeberatan menjelaskannya untuk kami.” Akhirnya aku membuka inti pembicaraan yang kami tunda sejak tadi karena tidak enak hati saat dirinya sedang menjelaskan hal lain. Aura mengintimidasinya membuat kami refleks segan dan menaruh hormat padanya. Aku bahkan berpikir dia cocok menjadi seorang pemimpin, tapi mungkin dia akan jadi pemimpin yang lebih banyak disegani karena aura intimidasinya daripada keramahannya. Sangat berkebalikan dengan Akintunde.
“Apa itu?” Aku senang karena nada bicaranya sedikit lebih lembut.
“Tentang pembaruan tanda kedewasaan saat ada sarki baru. Apakah prosesinya sama seperti pemberian tanda kedewasaan yang biasa? Atau ada detail lain?” Aku bertanya langsung ke intinya.
“Ah ya, prosesi itu. Maaf aku hampir terlewat, padahal baru satu tahun yang lalu kami mengadakannya.” Aku cukup terkejut dia mengucapkan kata ‘maaf’ dengan wajah garang itu. Dia berjalan ke peti besar di belakang tempat singgasana sarki mencoba menemukan sesuatu. William melongokkan kepalanya penasaran. Richard menunggu dengan memeriksa bagian lainnya di dalam ruangan. Aku hanya memperhatikan gerakan Akinwole saat menunggunya. Beberapa detik kemudian dia menemukan yang di carinya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kayu dengan dua lingkaran cekungan yang dalam, salah satu cekungan tampak memiliki bekas pewarna merah. Satu lagi bersih menampakkan warna kayu seperti keempat sisi luarnya.