Pukul 16:00. Tumpukan buku-buku menjulang tinggi di sekeliling kami. Robot-robot asisten di beberapa stand sibuk terbang kesana-kemari untuk melayani pembeli, mereka juga berguna sekali untuk menjadi kasir dadakan. Drone pintar sebesar bola kasti sibuk melayang-layang mengambil gambar dan video untuk dokumentsi acara. Pendingin tenda portable besar ini tidak lagi terasa karena sesaknya pengunjung yang berdatangan, aku dan Kanna sedang berada di bazar buku saat ini. Di masa digital ini memang lebih banyak tulisan yang dijual dalam bentuk ebook, tapi ternyata peminat buku fisik pun tak pernah hilang bahkan sepertinya makin membludak, terbukti dengan adanya bazar besar yang diadakan tiap satu semester sekali ini.
Setelah makan siang tadi, kami dihubungi Aaron dan Jose untuk mengunjungi bazar ini, mereka ingin mencari literatur atau sekedar mencari novel dengan genre yang mereka sukai. Setelah berselancar di internet, Kanna menemukan penulis favorit kami akan menjadi pembicara dalam talkshow. Penulis itu juga akan mengadakan penandatanganan buku di akhir acara. Kamipun bergabung demi mengikuti acara talkshow dan penandatanganan buku tersebut. Entah dimana rimbanya Aaron dan Jose sekarang, kami terpisah dari mereka 15 menit yang lalu. Tak masalah karena tujuan kami memang berbeda.
Aku dan Kanna masih berjuang berdesakkan untuk menuju panggung talkshow yang berada di ujung tenda besar memanjang ini. Jika sesuai jadwal, talkshow akan berakhir 10 menit lagi. Sial sekali kami lalai memperhatikan jadwal acara sebelum berangkat, kami baru sadar sebelum akhirnya berlari memisahkan diri dari Aaron dan Jose. Di depanku Kanna tampak berusaha memanfaatkan tubuh rampingnya untuk menyelip di antara kerumunan orang-orang. Aku yang hampir tertinggal melambaikan tangan meminta bantuan, dengan sigap Kanna meraih tanganku yang hampir terbawa arus lautan manusia. Sedikit lagi, kami sudah bisa mendengar suara moderator meminta penulis favorit kami memberi kalimat penutup. Ayolah setidaknya kami masih bisa mendapatkan sesi penandatanganannya. Beberapa selipan berikutnya, kami berhasil memasuki area talkshow. Panitia sudah mulai mengatur ulang panggung untuk sesi penandatanganan, aku dan Kanna bernafas lega karena masih sempat mengikuti bagian ini. Kami mengeluarkan buku favorit hasil gubahan penulis tersebut, kemudian ikut antre berbaris sekedar menyapa idola.
“Apa yang ingin kau tanyakan padanya, Rhe?”
“Entahlah aku belum memikirkannya. Bagaimana denganmu?”
“Aku ingin tahu filosofi nama penanya.” Kami tertawa bersama,
Penulis itu bernama pena Succulent, nama yang cukup aneh untuk pria berumur 40 tahunan itu. Belum ada satupun media yang menguak filosofi asli nama pena penulis ini, entah mengapa dia selalu menolak menjelaskan. Banyak diantara media menduga-duga kalau penulis ini memelihara banyak sukulen yang selalu menemani pekerjaan menulisnya. Cocokologi. Tapi tetap saja tak ada sumber valid yang mengungkapkan filosofi aslinya.
Dalam sesi ini tiap penggemar diberi kesempatan waktu sebentar, antusias bertanya hal-hal yang menarik perhatian mereka di tiap buku yang digubah oleh si Succulent. Dia menanggapi sama antusiasnya, membuat penggemar bisa pulang dengan puas setelah percakapan beberapa detik itu. Satu orang lagi selesai untuk sampai ke giliran kami.
“Selamat sore, apakah dua nona ini sempat beristirahat setelah lelah berdesak-desakan?” Sapaaan Succulent itu membuat kami berdua mematung. Dia pasti sempat memperhatikan kami saat turun dari panggung tadi.
Succulent tertawa seperti tahu apa yang kami pikirkan. “Ya, aku sempat melihat kalian dari atas panggung tadi. Buku apa yang kalian bawa hari ini?” Aku dan Kanna tersadar dengan pertanyaan itu.
“A-Ah, untukku yang ini, aku sangat suka cara anda mendeskripsikan adegan action untuk tokoh utamanya. Character development untuk tokoh pendukungnya pun sangat baik diceritakan.” Kanna menjawab cepat, mencoba tersenyum tapi masih kikuk.
“Wow, ini buku dua tahun yang lalu, kau yang pertama membawa buku ini hari ini. Aku senang kau bisa menikmati genre action yang kubuat. Aku belum terlau mahir melakukannya.”
“Benarkah? Menurutku ini sangat bagus, anda harus lebih sering menulis menggunakan genre ini.”
“Terima kasih, akan kupertimbangkan matang-matang saranmu.” Succulent menutup pembicaraan dengan membubuhkan tanda tangan dan menulis kalimat ‘Untuk Kanna’ sesuai request. Succulent mengembalikan buku itu, kini dia menoleh ke arahku menanyakan hal yang sama.
“Aku menyukai buku ini, seingatku sudah empat kali kubaca dan tetap menakjubkan. Tapi sebanyak itu pula aku tidak bisa mengkatagorikan buku ini ke satu genre yang pasti.” Aku menyodorkan buku yang ada di tanganku. Succulent menerimanya, menatap sampulnya dengan senyuman.
“Aku memang membuatnya seperti itu, tidak terikat dengan satu genre. Lebih agar pembaca mencoba menikmati saja sebuah bacaan.”