Aku mematung duduk di atas sofa apartementku. Kanna berbaik hati memberiku waktu untuk menenangkan diri, dia sendiri sudah cukup tenang sekarang. Dalam diam dia menyelemuti tubuhku yang memproduksi keringat dingin lebih banyak dari biasanya. 15 menit yang lalu dia ikut panik saat melihat wajahku memucat setelah berinteraksi dengan si lelaki pirang. Aku berkali-kali tak menjawab saat Kanna dengan frustasi bertanya apa yang dikatakan lelaki pirang itu.
Petugas berwajib pasti masih menyelidiki dan membereskan sisa jatuhnya helikopter di taman kota tadi. Mereka juga masih mencari seseorang yang sempat melompat terjun dengan parasut. Beruntung tak ada korban jiwa lain dalam kejadian itu. Entah bagaimana nasib tubuh kaku si lelaki pirang itu sekarang. Petugas medis mengatakan bahwa lelaki itu meninggal karena racun, kaki kanannya terluka, diduga dari sanalah racun itu masuk. Tidak ada tanda pengenal apapun yang melekat ditubuhnya, benar-benar hanya tubuh dengan pakaian. Anting kirinya pun tak menyimpan data apapun, dokumen, foto, bahkan kontak sekalipun tak tertera di memori gawai tersebut. Si lelaki pirang bermata biru safir itu seperti sengaja tak ingin orang lain tahu tentang dirinya.
Aku masih bisa merasakan genggamannya yang sedingin batu pualam di tanganku. Tangan kiriku pun masih menangkup erat pada benda yang diselipkan si lelaki pirang. Aku berusaha memanggil-manggil Theo di kepalaku sejak namanya disebut oleh si lelaki pirang. Perasaan tidak enak, khawatir, dan takut bercampur jadi satu. Theo sama sekali tak menjawab telepatiku, aku ingin menangis.
“Ka-nna.” Suaraku bergetar saat memanggil namanya. Kanna yang sedang di pantry menghentikan gerakannya, berjalan ke arahku.
“Ya?” Kanna berkata sehati-hati mungkin, mensejajarkan tubuhnya berjongkok di depanku. Dia meletakkan cangkir cokelat panas yang dibuatnya di meja depanku.
“Dia mengatakan ‘Theo’.” Akhirnya aku menjawab pertanyaan Kanna yang tertunda.
Kanna membelalak ternganga di depanku. “Astaga!” Dia memekik tertahan, berusaha mengontrol suaranya agar aku tak kembali panik, namun gagal. Air mataku benar-benar mengalir kali ini. Ekspresi Kanna berubah menjadi merasa bersalah sekarang, menyambar tisu yang tak jauh darinya. Dia mengusap air mataku dengan wajah khawatir, menungguku menyelesaikan kalimatku.
“Itulah yang sejak tadi ingin kuketahui, aku memanggil-manggilnya tapi Theo tak merespon.” Aku menjelaskan di sela tangisanku. Gerakan tangan Kanna terhenti, ekspresi wajahnya sekarang bingung karena memastikan aku tak melakukan panggilan telepon sejak tadi.
“Kau melakukan apa?” Tentu saja Kanna tak tahu kenyataan kami bisa melakukan telepati. Aku diam tak menjawab, Kanna mengacak rambutnya frustasi namun memutuskan tak mengulangi pertanyaaanya setelah melihatku masih tetap diam. Dia menyodorkanku cangkir cokelat panas yang dibuatnya tadi.
“Ini akan membuatmu lebih baik.” Aku menerima dan menyesapnya perlahan. Aroma dan hangatnya berhasil membuatku merasa lebih baik. Sebenarnya aku ingin itu tetap menjadi rahasia kecilku dan Theo, tapi situasinya sekarang tak memungkinkan. Aku menarik nafas dalam, menghentikan air mataku. Aku tak akan menyelesaikan masalah hanya dengan menangis. Petunjuk satu-satunya sudah ada dalam genggamanku. Kanna masih menunggu.
“Kau percaya telepati?”
Kanna mengangkat salah satu alisnya. “Bukankah kita sedang berusaha membuktikannya?” Kanna menjawab heran. Tentu saja dia akan menjawabnya seperti itu, penelitianku yang melibatkannya adalah membuat nanochip khusus agar manusia bisa berkomunikasi menggunakan pikiran. Alat telepati.
“Ya, tapi maksudku secara alamiah. Natural. Bukan hasil rekayasa sains dan teknologi.” Kanna memiringkan kepalanya sekilas namun langsung mengerti arah pembicaraanku.