Minggu, 11 Mei 2206. Waktu sekarang.
Aku, Richard, dan Akinwole kini didudukkan paksa, masih di tengah kerumunan para tetua suku. Ruangan sesak dengan pandangan mata merendahkan yang di arahkan kepada kami bertiga. Di singgasananya duduk sang sarki, Akintunde. Tangannya menyangga dagu, diam dengan wajah marah bercampur kecewa – lagi-lagi dia bersandiwara. Melihat singgasana Akintunde, cukup memberi informasi kalau kami berada di bangunan prosesi adat di tengah lapangan. Tempat yang tepat untuk mengadili orang secara rahasia. Tak akan ada penduduk curiga karena jaraknya yang terpisah dengan pemukiman dan aktivitas penduduk. Lagipula penduduk memang hanya ke sini untuk acara khusus saja. Akinleye dan Tuan Damian berdiri di kiri dan kanan singgasana itu. Dari semua orang di ruangan ini, hanya Akinleye yang menunjukkan ekspresi khawatir. Entah dimana Wei Johan dan Ruli si pelayan sekarang.
Tak berapa lama setelah kami bertiga tak sadarkan diri tadi, Akintunde membawa kami untuk diadili secara adat di depan seluruh tetua suku. Ada sepuluh tetua di bawah koordinasi Akinleye, lengkap dengan sekitar tiga puluhan penjaga yang menjulurkan tombak ke arah kami yang masih terduduk. Kami memanfaatkan situasi ini untuk mencoba memulihkan diri.
“Apa kau tidak tahu posisimu, Akinwole?!” Seorang tetua membentak Akinwole yang sejak tadi tertunduk. “Bagaimana bisa kau bekerjasama dengan kaki tangan Vento Corp untuk menghianati saudara sukumu sendiri?!” Akinwole tak menjawab. Aku dan Richard juga tak banyak membantu. Sebanyak apapun kami membela diri, orang-orang ini tak akan percaya karena sarki mereka sendiri yang ‘menangkap basah’ kami. Kesalahan Akinwole tentang penggunaan teknologi luar diungkap sudah. Aku, Richard dan William dituduh berkerja sama dengannya dan Vento Corp untuk melakukan rinderpest dan rice blast, memperdaya Tuan Damian yang polos.
“Apa kau sangat ingin posisi sarki jatuh ke tanganmu?” Tetua lain menyindir Akinwole sinis.
“Apa?” Akinwole tak percaya dengan tuduhan baru itu. Aku menangkap Akintunde menyeringai samar, puas memperhatikan.