Satu jam lalu Madam Starla efektif menyiapkan keberangkatan kami. Aku juga menjelaskan bagaimana caraku akan berkomunikasi dengan Theo. Aku membongkar rahasia kami, juga tentang proyek penelitianku yang melibatkan nanochip. Tobias akhirnya mau bicara dengan kami, menjelaskan semua yang diketahuinya selama proses persiapan dan perjalanan ke Paria. Dia sangat menyesal tentang William, meminta maaf karena terpaksa melibatkan kami. Tobias juga menjelaskan semua situasi yang sudah dititipkan William padanya dengan rinci. Menjelaskan siapa saja ‘antagonis’ yang akan kami hadapi, lengkap dengan ciri-cirinya.
Sejak mengudara aku tak berhasil mendapat respon dari Theo. Aku tegang. Kanna dan Tobias juga mulai khawatir dengan keadaan Theo dan Richard. Baru setengah jam yang lalu akhirnya Theo menjawab panggilaku. Memberikan koordinat yang sangat tepat. Dan di sinilah aku dan Kanna, berdiri menghadapi suku Paria yang sebagian besar berhasil roboh karena serangan kejutan dari alat pelumpuh.
Beberapa detik yang lalu kami terjun menerobos atap dari helikopter yang dikemudikan Tobias tepat ke tengah pertemuan suku ini. Masih tersisa tiga pria lagi, tampak satu pria yang menyeret dua pria lainnya adalah yang terkuat. Matanya legam indah, dua tato bulatan merah menghiasi bagian bawah matanya. Dialah sang sarki Akintunde, pria kecil berpakaian biasa itu pasti Tuan Damian. Akintunde menatap kami geram, Tuan Damian memasang ekspresi takut, dan satu pria tua yang segera kuingat adalah paman sang sarki – Akinleye – tak bisa menyembunyikan ekspresi bingung.
“Astaga! Kau datang dengan Kanna?!” Theo di belakang kami sudah berdiri dengan dua orang lainnya. Richard dan pasti Akinwole - kakak sang sarki. Ikatan tali mereka sudah sepenuhnya terlepas.
“Hei, kami baru saja menyelamatkan kalian dari acungan tombak dan itu satu-satunya kalimat yang bisa kau lontarkan untuk menyambut kami?” Kanna menjawab protes, mendongak mendekati wajah Theo, murni kesal mendengar perkataan seperti itu datang dari orang yang disukainya. Theo sedikit mundur karena wajahnya terlalu dekat.
“Maaf, terima kasih. Aku hanya tak menyangka kalau Rhea akan membawamu.” Kanna melengos tak menjawab, baru sadar kalau wajahnya terlalu dekat dengan Theo. Aku menepuk dahi menggeleng.
“Dan Rhea, sejak kapan kau bisa bela diri?” Aku menyeringai karena Theo tak tahu tentang ini.
“Jumat malam. Klub bertarung. Aku berlatih bersama Kanna, mengkombinasikan bela diri dengan gaya menariku. Lalu kami menciptakan gaya bertarung baru yang gemulai.” Aku menjawab datar, masih fokus menatap Akintunde.
“Astaga, kenapa kau tak memberitahuku?”
“Kejutan?” Aku menoleh sisnis. Aku bahkan berusaha mengabaikan tubuhnya yang babak belur, padahal dalam hati aku sangat bersyukur dia baik-baik saja. Theo tak lagi bertanya, mengerti kalau sikap ketusku masih tak ada apa-apanya jika dibanding dengan kebohongannya padaku selama sembilan tahun.
“Maaf memotong reuni kalian, aku Richard. Kalian pasti sudah bertemu William, bagaimana keadaannya sekarang?” Aku dan Kanna terbungkam demi mendengar pertanyaan Richard. Kami hanya merespon dengan gelengan kepala. Theo, Richard, dan Akinwole terkejut dengan jawaban kami. Bahkan Akintunde dan Tuan Damian ikut terbelalak. Akinleye masih dengan ekspresi bertanya karena dialah satu-satunya orang yang paling lugu di ruangan ini.
“Kalian santai sekali bisa berbincang di saat seperti ini.” Suara itu membuat kami kembali fokus pada situasi. Aku menyapu ruangan, menemukan pria bermata sipit yang langsung kukenali sebagai pemilik perusahaan energi paling adikuasa di seluruh dunia. Wei Johan, dia membenarkan posisi kacamatanya yang agak merosot. Satu pria tua berpakaian pelayan mengekor di belakangnya. Entah darimana mereka muncul dan entah dimana mereka bersembunyi sedari tadi. Aku dan Kanna refleks memasang posisi makin siaga karena kehadiran dua pria ini. Dari informasi Tobias, pria tua itu tak bisa di remehkan, juga kenyataan bahwa Wei Johan memiliki jarum beracun yang membuat William tak lagi bersama kami.