Gara-gara kejadian kemarin. Neta Alifia seorang yang pendiam jadi terlihat semakin diam. Sejak kejadian kemarin juga, Neta mengurung diri di dalam kamar, tidak keluar hingga pagi tiba kembali.
Biasanya saat bangun tidur di pagi hari, Neta akan semangat untuk segera mandi. Tapi tidak dengan pagi ini. Mata nya sudah terbuka tapi ia tidak segera beranjak dari tempat tidurnya. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Wajahnya terlihat lesu dan tak bersemangat. Kata-kata Gara dan teman-temannya kemarin masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Setelah beberapa saat, Neta berinisiatif untuk bangkit dan turun dari ranjangnya. Ia berniat untuk pergi mandi meskipun dengan perasaan malas. Tiba-tiba langkahnya terhenti di depan cermin yang menggantung di dinding kamarnya.
Neta mencoba menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. "Emang gue jelek banget ya?" Gumamnya lirih dengan raut wajah sedih. Perlahan Neta membelai rambutnya sendiri yang terlihat berantakan. Kemudian menyentuh wajahnya untuk beberapa saat. Tatapannya terlihat menimang-nimang. "Kayaknya emang iya sih!" Gumamnya lagi, setelahnya menghela nafas berat merasa kecewa pada dirinya sendiri.
"Terus gimana caranya gue bisa dapetin cowok kalo gue kayak gini? Ya... ampun..., SUMPAH YA! GUE PINGIN BANGET GARA SI BOCAH JINJURlCI YANG MULUTNYA PEDES KAYAK CABE ITU BUNGKAM DAN NGGAK NGATA-NGATAIN GUE LAGI UNTUK SELAMANYA!" Teriak Neta tiba-tiba dengan frustasi. Meskipun Neta adalah seorang yang pendiam. Tapi kadang-kadang tingkahnya absurd seperti sekarang ini. Ia berharap setelah berteriak akan membuat perasaanya sedikit lebih lega.
"Neta....!"
Terdengar suara Ayah memanggil dari balik pintu kamar. Neta kaget dan langsung memejamkan matanya rapat-rapat. "Duh... mampus gue." Gumamnya lirih merasa malu. Neta menduga tadi pasti Ayah mendengar teriakannya.
"Neta...!!" Seru Ayah lagi saat belum mendapati sahutan dari Neta. Kali ini dengan menggedor-gedor pintunya.
"Ya... yah, Neta udah bangun kok, sebentar lagi juga mau mandi!" Sahut Neta dari dalam akhirnya. Sambil berharap semoga Ayahnya tidak membahas soal teriakannya tadi.
"Kirain kamu kenapa tadi. Yaudah buruan, nanti telat loh ke sekolahnya!" Ujar Ayah kemudian. Detik berikutnya hening. Neta menghembuskan nafas lega, karena sepertinya ayah sudah berlalu. Itu artinya Ayah tidak akan membahas soal teriakannya tadi.
***
Neta berjalan malas menuju kelasnya. Apa lagi saat nanti harus berhadapan dengan Gara. Neta benar-benar tidak ingin berhadapan dengan mahluk paling resek di SMA SATYA itu. Yang berhasil membuat hidupnya tidak tenang dan merasa terganggu setiap saat.
"Ya...Allah..., kalo boleh hamba minta sesuatu. Hamba pingin banget bisa menghilang sekarang juga. Atau kalo nggak, biar Gara aja yang lenyap dari pandangan hamba." Harap Neta dengan langkah gontainya yang makin mendekati kelasnya.
Bel masuk pun berbunyi tepat di saat Neta tiba di kelas. Anak-anak lain terlihat berhamburan kembali ke meja masing-masing setelah tadi sempat nongkrong-nongkrong di meja lain. Anak-anak yang masih di luar seusai dari kantin juga terlihat buru-buru membuang sisa makanannya kemudian masuk ke dalam kelas.
Tentu saja karena mereka takut ada guru yang memergoki mereka ada di luar kelas saat bel masuk kelas telah berbunyi. Mereka takut di strap berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung hingga pelajaran usai. Peraturan di sekolah makin ketat ketika pak Bagio guru paling terkenal killer se-SMA SATYA baru saja di angkat sebagai wakil kepala sekolah oleh kepala yayasan.
Neta melangkah lesu menuju mejanya, disana ia sudah di sambut oleh senyum lebar sahabatnya, Tania. "Tumben hampir telat, biasanya telat." Ledeknya sambil terkekeh kecil. Gadis itu pun segera menggeser tubuhnya ke samping agar Neta bisa segera duduk di sebelahnya.
"Biasalah naik angkot, jadi macet." Sahut Neta seraya meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk.