Ruang kesehatan tidak begitu jauh dari asrama. Ada minuman dan cemilan yang bisa di makan sambil menunggu antrean. Kuntara mengambil sesi konsultasi dan menungu antrian mahasiswa yang juga berobat atau konsultasi dengan Dokter Aswat. Kehadiran dokter jaga di kampus bisa menetralisir keresahan mahasiswa akan tekanan tugas dan kesendirian di asrama. Dan fasilitas ini bisa digunakan kapan saja; sesuai jadwal janji. Ini juga menjadi alasan mereka tidak menyukai Kuntara. Sebab ia satu-satunya mahasiswa yang dapat memperoleh konsultasi gratis di ruang periksa.
“Aku sudah menunggu lama kamu datang kemari.” Dokter Aswat menyimpan berkas pasien sebelumnya begitu Kuntara berdiri kaku di mulut pintu. “Duduklah. Bagaimana kabar ayahmu?”
“Baik, Dok.” Kuntara membuka tas ranselnya dan memberikan sebuah map. “Ini berkas dari ayah. Sebenarnya ada satu lagi surat dari ayah, tapi kakak tingkat mengambilnya.”
“Ini saja sudah cukup! Oh iya apakah aku perlu memperkenalkan diri? tapi sepertinya ayah angkatmu sudah membocorkan sedikit tentang diriku. Oh iya bagaimana tinggal di asrama untuk pertama kali, pasti menyenangkan, bukan?”
“Susah tidur, Dok!” Kuntara merasa perlu mengatakan hal ini. Dokter Aswat mendengarkan sambil membaca berkas dokumen kepindahan Kuntara.
“Padahal aku sudah mulai senang bisa belajar sekaligus konsultasi, tapi sepertinya asrama ini mengingatkanku akan sesuatu. Setiap kali kejadian itu muncul, kadang aku tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan mana dunia mimpi. Apalagi icon-icon itu muncul dan menggangguku lagi.”
“Icon-icon itu? Bisa kamu ceritakan di bagian itu?”
“Mereka datang dari gelap. Mereka muncul semau mereka. Mereka senang mengekor manusia dan menggelayuti tubuh yang disukainya. Bentuknya dan warnanya macam-macam. Mungkin serupa roh binatang, aku tidak tahu. Tapi aku mulai takut mereka akan menyerangku.”
“Menarik, aku ingin tahu bagaimana kamu melihat duniamu. Oh, iya, apakah di ruangan ini, kamu melihat Icon?”
Kuntara melepas kacamatanya. Sambil sesekali mengucek kedua matanya, ia melihat sekeliling. Hanya gelembung-gelembung tanpa bentuk saja. Belum terlihat jelas apa yang ada di depannya. Kuntara menggeleng. “Sepertinya tidak ada icon yang menyeramkan disini.”
“Icon yang menyeramkan seperti apa?”
“Icon berbentuk roh binatang, Dok! Aku tadi melihat satu icon baru di asrama. Dokter tahu Rio kakak tingkat dari fakultas Kesehatan? Aku melihatnya dililit Icon ular!”
“Icon ular? Apakah bentuknya seperti ular pada biasanya?”
“Kadang aku tidak yakin apakah itu memang roh Binatang ular atau jelmaan manusia bertubuh ular. Tapi kali ini aku tidak salah menebak. Akan terjadi sesuatu yang mengerikan sebentar lagi!”
“Jangan dulu bicarakan hal ini pada orang lain. Tidak semua orang akan mudah percaya pada penjelasanmu mengenai icon tersebut.” Dokter Aswat menyuruhnya duduk kembali setelah ia periksa mata dan perut Kuntara. “Tidak ada yang salah dari mata dan tubuhmu! Kejadian di panggung itu mungkin hanya kelelahan.”
“Apakah yang aku lihat itu nyata, Dok? Atau hanya imajinasiku saja?”
“Ada beberapa hal di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata; tapi cukup diimani.” Dokter Aswat melanjutkan resep lama dari ayah angkatnya dan menambahkan beberapa butir vitamin penguat daya tahan tubuh.
Kuntara memilah obat yang biasa ia telan.
“Percayalah, efek obat ini akan meredam sementara penglihatanmu!” Dosen Aswat meyakinkan keraguan Kuntara dan menyudahi sesi konsultasi karena ada mahasiswa lain yang mengetuk pintu.
“Waktu konsultasi sudah habis. Silakan meninggalkan tempat.” Dokter Aswat sangat baik memainkan peran, ia kembali bersikap professional ketika ada orang lain yang datang.