Seharian Kuntara tidak bisa konsentrasi. Apa yang dijelaskan dosen di depan kelas seolah gaung yang keluar masuk telinga. Beruntung hari itu hanya pertemuan biasa membahas silabus perkuliahan untuk satu semester. Pikirannya tentu tertuju pada icon tengkorak kuda itu.
Selesai kuliah, Kuntara menemui kediaman Dokter aswat secara diam-diam.
“Aku sudah mendengar semua tentangmu dari ayah angkatmu, semula aku tidak yakin jika visual ini bisa diterima oleh anak seusiamu. Maksudku, apa yang kamu lihat itu tidak seperti yang kamu lihat!”
“Maksud dokter, semua itu hanya gambaran dari penyakit yang aku derita? Aku sebenarnya sakit apa, Dok!?”
“Secara kedokteran, kamu sehat lahir batin. Tapi ada sesuatu yang mengelupas dari penglihatanmu. Sesuatu yang terkelupas dari mata seorang anak adam. Penglihatan kuno yang sudah beradab-abad lalu tertutup. Tidak ada yang sanggup menerima dengan akal sehat jika sebenarnya kita bersinggungan dengan dunia luar. Sepertinya tubuhmu tidak beradaptasi dengan baik di dunia ini.”
“Ini normal kan, Dok? Jika ini seumpama mata batin, aku ingin menutupnya.” Kuntara menegak minuman kaleng, ia kehabisan kata-kata untuk mengatakan bahwa ini sebuah fenomena paranormal.
“Jelas tidak normal. Mata visualmu terkelupas sehingga bisa melihat makhluk asing. Tetapi otakmu tidak memberi kesempatan untuk mencerna apa yang kamu lihat, maka dari itu otakmu menyesuaikan diri dan memberi gambaran lain. Tampilan Icon yang kamu maksud mungkin hasil dari kerja keras otakmu.”
“Atau dari ayah angkatku yang selalu meyakinkan diriku bahwa mereka seumpama icon icon lucu di komputer? Sehingga aku lupa seperti apa wujud mereka sebenarnya?”
“Aku tahu kamu cerdas, kamu tidak butuh orang lain untuk menjelaskan. Tapi ada hal yang mesti kamu waspadai. Icon itu tidak selucu yang kamu lihat! Kamu harus hati-hati, sebab sepertinya mereka beraksi denganmu!”
“Apa yang harus aku lakukan, Dok!”
“Aku harap kamu jangan gegabah, dan tetap berperilaku normal sampai aku menemukan jawabannya. Minggu depan aku akan keluar kota mengunjungi ayah angkatmu. Aku akan mendalami kasus ini lebih jauh.”
“Maaf, Dok. Karena aku, dokter jadi direpotkan!” Kuntara menunduk. Dan ia melihat jam di tangan sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Sudah terlalu larut. Ia harus kembali ke asrama.
“Tidak usah tidak enak hati. Fenomena yang kamu alami, mungkin sudah ditakdirkan. Aku bersyukur ada di dalam lingkaran ini. Aku akan bantu kamu dan menemukan solusinya! Mungkin ini juga akan jadi jawaban kenapa begitu banyak kejadian tidak masuk akal di asrama. Dan ini jauh lebih kuno dari yang kamu kira, Kun.”
Dokter aswat menawarkan Kuntara sampai ke gerbang utama asrama, tapi Kuntara menolak. Ia sudah biasa sendiri. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Gerbang asrama sebentar lagi terkunci. Jadi tanpa membuang waktu Kuntara bergegas pamit.
Dan benar saja pintu asrama hampir ditutup, beruntung Pandji kepala asrama mengenali sosok yang berlari. Kuntara terlihat ngos-ngosan mendekati pagar. Ia menenteng tas berisi nasi goreng, yang harumnya membuat Pandji kembali membuka gembok pagar.