Matahari mulai terbenam, Udara dingin di pucuk senja mulai menggelitik. Decakan cicak dan teriakan tonggeret terdengar mistis. Garis tahayul dan sains makin tipis sekarang. Jika ada yang berani keluyuran saat matahari mulai terbenam; berarti dia benar-benar ada urusan, sebab jika tidak, dia hanya orang luar yang tidak tahu kejadian maha besar di asrama.
“Jangan nakut-nakutin, dong!.” Kuntara melipat tangan karena kedinginan. Ia berniat menginap karena takut akan kata-katanya sendiri. “Malam ini aku menginap di kamarmu ya, Kak Juh!”
“Sebenarnya aku tidak suka ditemani, tapi ya sudahlah hanya malam ini saja!” Juhari tersenyum dan menaruh tangannya di pundak Kuntara. Lantas ia manggut-manggut. Kuntara tidak mengerti arti gerakan kepalanya. Sementara itu hanya Juhari satu-satunya orang yang masih berada di lantai tiga, selain dirinya. Kuntara membalas senyumannya. Itu berarti malam ini ia bisa tidur nyaman tanpa harus mengingat kejadian lalu.
“Terima kasih, Kak!” Perasaan lega tergambar di dada Kuntara, sebab masih ada orang di dunia ini yang masih tetap berada di sampingnya.
Tapi bukan Juhari namanya jika tidak usil. Di batas kesunyian kampus itu, ia masih menyimpan sejuta akal untuk mengerjai adik kelasnya. Dan dalam hitungan ketiga ia berencana kabur secepat mungkin dari balkon tersebut. Meninggalkan Kuntara yang masih sibuk dengan imajinasinya. “Satu, dua, tiga ….! Aku bukan kakakmu!” Juhari berteriak sambil berlari. Langkahnya benar-benar gesit; melompati pagar balkon dan menghilang ke arah lorong koridor.
Kuntara benar-benar belum siap dengan keusilan Juhari. Ia mulai teringat dengan apa yang pernah ia alami dahulu. ‘Apa ia benar-benar berencana mengerjainya seperti orang lain di masa lalu?!’ Terbayang saat itu ia menangis karena ketakutan. Fobia ruang sempit dan gelap menyebabkannya berhalusinasi. Dan teman-temannya tidak tanggung-tanggung mengerjai Kuntara, menguncinya di kamar mandi yang gelap; sampai benar-benar mau menangis. Setelah itu mereka tertawa tanpa ada rasa penyesalan. Tapi trauma di dada Kuntara masih membekas sampai sekarang.
“Kak Juh, hentikan!” Kuntara meneriaki kakak tingkatnya yang berlari melesat. “Kak Juh, tunggu aku!” Perut keroncongannya makin beradu dengan organ pencernaan, membuat mual saat berlari dengan cepat secara tiba-tiba. Udara dingin bergerak merambat memasuki gedung dan lorong-lorong; suara tonggeret makin menggema seakan tersedot masuk bersama ketakutan Kuntara.
Juhari telah tiba di pintu kamar, dengan cepat ia masuk dan mengemas semua pakaian dan buku-buku ke dalam tas. Dengan tawa yang ditahan ia membayangkan bagaimana anak itu menjerit kekanak-kanakkan sebab ia satu-satunya penghuni yang belum beres-beres barang.
“Kak, buka pintunya!” Kuntara akhirnya sampai mulut kamar dan memukul pintu dengan keras. “Aku takut sendirian!” ia memelas di depan pintu sambil terengah-engah. Ia tidak berani menatap jauh ke lorong, suasana sepi merayap dengan pasti. Makin ia memelas supaya masuk, makin menggema suaranya di lorong. Dan itu amat mengerikan mendengar suaranya sendiri.
“Bocah penakut! Kamu laki-laki, bukan sih?” teriak Juh dengan keras, ia pura-pura tegas padahal ia sedang menertawakan keusilannya. “Sana pergi ke kamarmu sendiri! Dan tunggu kak Rio muncul atau dokter Aswat!”