Parang Maya (Kumpulan Cerita)

Maria Ispri
Chapter #1

PARANG MAYA

Hujan guntur mengguyur sebuah desa di Pulau Laut kala senja itu. Awan gelap melungker mendekap langit tanpa memberi sedikit ruang untuk cahaya menyelusup masuk. Sesosok perempuan basah kuyup sedang berjalan sepanjang jalan beraspal yang mengular sepanjang bibir pantai di lembah pegunungan Bamega. Tak ada seorang pun yang berani berkendara lewat daerah itu karena jalannya yang berliku dan memiliki belokan yang tajam. Salah ambil posisi dan tidak pelan-pelan bisa di tabrak dari depan oleh kendaraan lain. Jalannya cukup sempit jika harus berpapasan dengan truk. Apalagi hari hujan deras dan jalanan licin. Tak sedikit juga anjing-anjing liar maupun yang dipelihara berjalan bergerombol atau tiba-tiba menyeberang jalan. Jika tak hati-hati bisa masuk jurang yang ada di pinggir jalan. 

Ekspresi perempuan itu datar. Dia tak menghiraukan badannya yang sedang basah kuyup. Baju serta kerudungnya basah dan kotor oleh pasir pantai. Bibirnya menggigil kedinginan. Kakinya hanya beralas sandal jepit warna hijau dengan bekas pasir pantai yang mulai luruh terkena air hujan. Dia berjalan tanpa menghiraukan sekitar. Ketika di belokan jalan, tanpa ia sadari sesosok bayang muncul dari semak-semak memeluk dan membekapnya dari belakang. Perempuan itu meronta tapi tenaganya kalah kuat dengan dekapan sosok laki-laki yang menyeretnya masuk ke dalam rimbunan hutan. Senyap.

***

Seorang laki-laki berkaos kuning, celana jeans selutut, bersepatu karet berjalan menyusuri jalan setapak ke arah hutan di kaki gunung. Dia membawa sebuah Mandau (parang) dan karet berwarna hitam dari bekas ban sepeda motor yang dipotong memajang. Hujan deras yang mengguyur Pulau Laut sejak sore kemarin berlangsung sampai malam. Bisa dipastikan aliran air dari gunung ke desa akan berhenti total karena pipa pecah atau mampet tersumbat sampah. Sungai di gunung banjir membawa sampah-sampah daun yang menutupi jalan air. Laki-laki itu bertugas sebagai penjaga dan perawat saluran air. Masyarakat sudah membayarnya dua puluh ribu per bulan per kepala rumah tangga, jika ada masalah dan tak segera di selesaikan, bisa-bisa dia kena komplain. Sehari dua hari mungkin masih ada air sediaan, tak bisa dia berleha-leha sedangkan penduduk desa tak memiliki air sekedar untuk membasuh setelah buang air. Mencuci baju mungkin masih bisa ke sungai tapi tak semua orang sanggup demikian. 

Laki-laki berkumis tipis itu memeriksa setiap jengkal pipa besar yang ada di atas tanah. Sudah setengah kilo ke atas gunung dia tak menemukan masalah pada pipa. Sambil sesekali mandaunya menebas semak-semak yang tumbuh tinggi menutupi jalannya. Dia sudah terbiasa dengan lingkungan hutan di desa itu. Babi, monyet, ular dia tak takut. Apalagi jika musim durian datang, dia dan penduduk sudah terbiasa bermalam di tengah hutan menunggu durian jatuh. Sambil memanen buah-buah hasil hutan yang lain seperti Binjai, Langsat, Kapul (manggis kulit kuning), Ramania dan sebagainya. Saat ini hutan masih alami, terkadang ada rasa khawatir juga dalam hatinya jika hutan-hutan itu kelak di tebang dan diganti dengan perkebunan sawit atau malah di jadikan tambang. Apa yang akan di wariskan pada anak cucunya jika semua habis di jarah tangan-tangan manusia yang rakus. Sudah saatnya manusia sadar diri, hutan adalah ibu kita. Dari rahimnya kita mendapatkan air dan oksigen untuk bernafas anugerah Ilahi yang patut kita syukuri dan kita jagai. 

Tak seperti biasanya pagi itu laki-laki penjaga pipa mendengar suara anjing-anjing hutan menggonggong bersahutan. Insting laki-laki itu merasa ada yang tak beres. Dia mendengar dengan seksama asal suara gonggongan, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke Utara, dia urung melanjutkan naik terus ke atas gunung. Dia melihat empat ekor anjing menggonggong pada semak belukar yang ada di hadapan mereka. 

"Huuush...huuush..!" usir laki-laki itu dengan mengibas-ngibaskan mandaunya pada sekawanan anjing yang menggeram ke arah semak belukar. Melihat ada manusia yang datang, anjing-anjing itu lari terbirit-birit. Dengan penuh kewaspadaan dan rasa penasaran, si Penjaga Air mendekati semak belukar. Dia terkejut demi melihat penampakan kaki di tanah. Dia mendekati sosok itu, dan nyata di depannya mayat seorang perempuan berkerudung dengan kondisi yang mengenaskan. Badannya basah kuyup dengan baju yang sudah tak menutupi auratnya dengan benar. Laki-laki itu gemetaran, baru kali ini dia melihat mayat manusia. 

"Mayaaaat...mayaaat!" teriaknya langsung lari tunggang langgang turun gunung untuk mengabarkan hasil penemuannya.

***

Di rumah Kepala Desa ramai orang berdatangan. Polisi, petugas medis dan beberapa warga yang mengevakuasi mayat perempuan datang dari arah gunung menuju rumah kepala desa. Teriak histeris terdengar dari dalam rumah begitu mayat perempuan itu dibawa masuk dan diletakkan di ruang tamu.

"Anakku...anakku..," teriak istri Kepala Desa meratapi anak gadisnya sudah terbujur kaku. Dia memeluk jenazah itu dan mengucap sumpah serapah akan mencari si pembunuh. 

Kepala Desa mengerutkan dahinya, dia lebih tegar di banding istrinya. Dia duduk di samping jenazah anak gadisnya. 

"Pak, jenazah akan kami bawa ke rumah sakit untuk diotopsi. Bapak ikut kami juga," terang seorang polisi. 

Lihat selengkapnya