Di malam yang gerah kubuka laptopku. Sejenak kuberpikir apa yang ingin kutulis. Apalagi deadline tulisan tinggal dua hari lagi sebelum diangkat di media. Lebih baik kuangkat cerita based on true story saja. Mau kuceritakan tapi jujur saja aku merinding. Horor sih. Kalau yang mengalami ya rasanya seperti percaya gak percaya. Tapi mau tak mau pembaca harus percaya karena ini pengalaman pribadi. Malam itu aku sedang di kamar membaca buku, lalu...
"Maryam!" suara ibuku memanggilku dari ujung tangga. Maklum kamarku ada di lantai dua
"Yaa bu!" jawabku.
"Ada telepon dari si Mahrita!" ujar ibu
Deg! Oh no...dia...No..no...no...lebih baik aku tak mengangkatnya. Keringat dingin tiba-tiba menetes di dahiku. Aku merasa merinding dan langsung saja aku melompat ke atas kasur sambil membaca ta'awudz dan ayat kursi banyak-banyak. Aku memohon dalam hati pertolongan dan perlindungan Allah. Ketakutanku bukan tak berdasar. Ini tentang kejadian seminggu yang lalu.
Gadis itu, Mahrita namanya. Masih SMP, cantik dan anak orang berduit. Dia anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga kakaknya semua laki-laki, jadi bisa dibayangkan dia benar benar dimanja dan jadi anak mami. Seperti biasa dia datang les ke rumah. Minta diajari Matematika kata mamanya. Seminggu dua minggu tak ada yang aneh pada dirinya. Sampai minggu yang ketiga hal yang tak biasa baru muncul. Habis sholat magrib dia datang les seperti biasa. Ibuku baru selesai sholat lalu menyetel murottal keras memakai loudspeaker. Ketika aku duduk disampingnya menjelaskan, tiba tiba kulihat tangannya kaku mengeras. Wajahnya pucat dan keringat bercucuran di dahinya. Dia gelisah.
"Kak aku pulang," katanya lalu pergi begitu saja meninggalkan aku yang sedang bengong bertanya tanya. Ada apa?
Siang itu dari kejauhan kulihat seorang ibu yang berdandan bak sosialita datang mendekat. Kusipitkan mataku karena silau sinar matahari yang memantul sempurna di lantai halaman masjid yang termegah di Simpang Empat. Beliau melepas kacamata fashionnya yang berwarna marun dan tersenyum padaku.
"Sudah lama nunggu saya bu Mar?" tanya Mama Mahrita sambil duduk dihadapanku.
"Tidak bu, saya juga baru datang!" jawabku sekedar basa-basi padahal jujur saja aku sudah menunggu satu jam dari waktu perjanjian. Agar beliaunya nyaman di hati daripada segan. Bohong gak papa kan?
Lama kami bincang basa-basi sampai pada akhirnya aku langsung bertanya pada titik poin permasalahan. Ada apa dengan Mahrita? Mendengar pertanyaan dan ceritaku tentang kejadian kemarin malam, mata mama Mahrita nanar lalu menunduk seakan ada hal yang berat untuk diungkapkan. Lalu beliau menarik nafas panjang sekedar untuk mempersiapkan cerita yang akhirnya lancar mengalir dari lisan beliau. Mahrita anak gadisnya benar-benar sedang mengalami hal yang luar biasa dan di luar nalar. Anak bungsunya pernah kecelakaan dan mengalami remuk tulang belakangnya sampai koma di rumah sakit. Terdorong rasa tidak rela bila kehilangan anak gadis satu satunya. Dia meminta bantuan seorang Baliyan untuk mengobati anaknya. Pada malam hari Mahrita masuk Rumah Sakit. Baliyan itu terlihat seperti bapak-bapak biasa. Dia datang pagi sekitar jam 9 an. Tanpa ritual khusus dilakukan. Baliyan itu hanya membaca mantra-mantra yang tidak dimengerti artinya dan ditiupkan ke badan gadis itu. Lalu diambilnya dari dalam tasnya botol kecil yang berisi cairan. Ternyata itu minyak yang dioleskan ke punggung Mahrita yang sedang tak sadarkan diri. Tak lama kemudian Baliyan itu tersenyum puas dan pamit pulang. Senyumnya makin mengembang ketika Abah Mahrita menyelipkan sebuah amplop tebal di tangannya.