Parang Maya (Kumpulan Cerita)

Maria Ispri
Chapter #7

LELAKI HUJAN DAN CATATAN HARIANKU

Jika kau anggap hujan itu romantis, kupikir kau harus mendengarkan ceritaku dulu baru menilai. Apakah benar hujan itu romantis? Bagiku, hujan itu seperti pisau yang mengiris daging. Dia mampu mengucurkan darahku mengorek lukaku membuatku menangis kembali karena mengenang masa lalu. Benar, kupikir, aku harus melupakan kenangan itu, dan menggantinya dengan kenangan baru yang akan memberikan kesan yang indah untukku tentang hujan, tapi aku masih ingin memeluk masa lalu. Biarkan saja aku tetap seperti itu.

Hari pertama aku bertemu dengannya saat hujan menyiram kota di pagi hari. Aku pikir hujan saat itu sangat menyenangkan karena panas seharian menjadi sejuk seketika. Aku pun lari ke sebuah halte bus untuk bernaung. Aku duduk sambil memandang langit kelabu. Angin kencang membawa tempias air membasahi sepatuku. 

Lelaki itu berlari-lari menuju ke arahku. Hem putihnya sedikit basah. Dia tersenyum kepadaku lalu duduk di sampingku. Bisa kucium bau parfum lembutnya. Aku suka baunya. Bersama-sama kami memandang langit. Aku belum tahu namanya saat itu. Bus yang dia tunggu telah datang. Dia hanya menoleh padaku lalu tersenyum. Kubalas senyumnya. Dia beranjak pergi meninggalkanku. Sosoknya hanya dapat kupandang dari jauh, duduk di kursi dekat jendela bus tanpa menoleh lagi kepadaku.

Kututup buku catatanku. Lelaki hujan itu masih duduk di sampingku. Sosok yang memakai hem putih dan terlihat tampan dengan rambut basahnya. Dia hanya memandang jalanan yang basah dan air yang mengalir masuk ke dalam gorong-gorong. Aku hanya menghela napas. Itu hanya catatan fantasi pertamaku tentang lelaki hujanku, yang ada di sampingku.

***

Hari kedua saat itu juga turun hujan. Takdir ini sungguh indah. Hujan juga jadi kenangan manis. Dia berlarian lagi menuju halte bus untuk bernaung. Dia duduk di sampingku, dengan bau harum yang sama. Hari ini dia memakai hem putih dan jas kelabu. Sebuah tas kerja di tangannya. Dia mengelapnya dengan tangan karena basah terkena hujan. Dia tersenyum padaku, dan akupun membalas senyumnya.

"Adik sekolah dimana?" tanyanya.

Aku baru sadar suaranya sangat merdu di telinga. Sesuai dengan penampilannya.

"Di SMA Sukses Berkarya, Kak," jawabku malu-malu.

"Oh, aku juga alumni sekolah itu. Angkatan ke sepuluh."

"Wah, keren. Senang bisa ketemu kakak angkatan. Kakak kerja dimana?" tanyaku

"Aku kerja di perusahaan Nasional Indonesia," jawabnya.

"Sesuai dengan impian Kakak?" tanyaku lagi.

Dia mengangguk. 

"Sejak dulu aku ingin memiliki perusahaan sendiri, dan aku jadi bosnya. Perusahaanku saat ini masih kecil, suatu saat nanti akan kukembangkan sayapnya sampai ke ujung dunia," terangnya dengan mata berbinar sambil menunjuk ke langit.

Hujan masih deras, kilat melecut langit lalu guntur juga ikut mengejutkanku.

"Adik bercita-cita jadi apa?" tanyanya.

Aku diam memikirkan jawaban. Selama ini aku belum memutuskan apa-apa untuk masa depanku.

"Aku pikir, aku ingin jadi penulis best seller yang mendunia. Aku ingin karyaku terkenal dan dibaca oleh banyak orang sampai ujung dunia sana," jawabku sambil menunjuk langit, menirukan gayanya menjelaskan tadi.

Kami tertawa bersama.

Itu catatan fantasiku tentang lelaki hujanku. Percakapan kami yang pertama tentang cita-cita. Dia dalam balutan jas kelabunya, duduk di sampingku, diam, tanpa menoleh kepadaku yang mengaguminya secara rahasia. Kututup buku catatanku. Hujan mereda saat bus yang ditunggunya datang. Dia berdiri lalu meninggalkanku sendirian duduk di halte bus.

***

Hari ketiga saat hari yang murung karena mendung menutupi langit kota sejak pagi. Aku pikir tak lama lagi hujan deras turun lagi. Aku percepat langkahku menuju halte bus. Lelaki hujanku sudah duduk di bangku halte bersama beberapa orang yang menunggu datangnya bus.

Hari ini dia memakai jas kelabu, tapi hemnya berwarna biru berkancing satu di leher. Ah, lehernya indah, terlihat kokoh dengan model baju seperti itu.

"Hai Kak," sapaku sambil duduk di sampingnya.

"Hai, langitnya murung, hujan belum turun," ucapnya sambil menunjukkan payung berwarna merah kepadaku.

Aku pun terkekeh.

Lihat selengkapnya