“Pak Borneo Prabagas!” Suara orang memanggil dari kerumunan.
Seorang pemuda berjaket lusuh terlihat bingung mencari arah suara itu. Matanya yang kurang tidur terlalu banyak menangkap silau di antara lalu lalang orang di Bandara Soekarno Hatta.
“Pak Borneo Prabagas!” Suara itu terdengar lagi.
Pemuda berjaket lusuh menemukan bapak-bapak berbadan kecil sedang melambaikan tangannya. Pemuda itu tahu, orang ini cuma suruhan. Yang perlu dia lakukan cuma mengikuti kemana orang itu pergi.
Namanya Borneo. Biasa dipanggil Neo. Dia baru saja turun dari penerbangan Banjarmasin – Jakarta. Dia satu-satunya wartawan yang dibolehkan berada di lokasi jatuhnya pesawat komersial di Kalimantan lima hari yang lalu.
Dari tadi dia terus mengikuti orang yang tak dikenalnya. Kadang melewati area yang bukan untuk umum. Sampai mereka tiba di tempat parkir. Salah satu mobil di sana sudah menunggunya.
“Ini dia paranormal kita!” Suara menggelegar menyambut Neo dari orang yang duduk di depan.
Neo yang masuk dari belakang sudah mengira akan bertemu laki-laki ini. Seorang intel senior berbadan besar. Temannya yang wartawan mengenalkan padanya waktu ada pesawat jatuh di Papua tiga tahun yang lalu.
“Memang Neo tak ada duanya!” kata intel itu setengah memuji setengah mengolok. “Tapi jangan ngilang berbulan-bulan lagi dong kaya kemarin. Dicariin susah amat. Kirain mati lu dimakan macan. Ke mana aja lu?”