Jalan lurus di depan Neo terus menurun. Neo serasa terdorong ke depan mengikuti bayangannya yang telah memanjang di aspal yang curam. Dia sedikit membayangkan susahnya orang berjalan balik ke atas. Di kanan kiri Neo hanya pohon-pohon besar yang semakin jauh terlihat semakin rapat dan gelap.
Ibu di colt itu benar. Setelah jalan mendatar, arahnya berbelok ke kiri. Neo tetap melangkah lurus. Hingga di ujung aspal dia temukan jalan setapak yang melewati batang-batang pohon. Cahaya redup saat Neo menapaki jalur sempit tanah tak berumput itu. Rimbun daun begitu rapat di atas. Sekilas Neo lihat ular melintas di antara cabang-cabang.
Selang beberapa menit, jembatan gantung terlihat di depan. Jembatan itu sesempit jalan setapak. Alasnya jajaran papan yang hanya diikat tambang. Saat melewatinya Neo sedikit was-was. Jembatan bergoyang setiap kali dia melangkah. Neo mengeratkan tangannya pada tali pegangan. Lima meter di bawah, arus sungai begitu deras melewati batu-batu besar. Neo menetapkan tekadnya untuk sampai ke ujung karena dia yakin tujuannya tak jauh lagi dari situ.
Setelah jembatan gantung, jalan setapak memasuki jajaran pohon yang lebih lebat. Remang pun semakin pekat. Beberapa kali Neo melihat ular di pohon-pohon itu. Ada yang menjalar, ada yang diam. Seperti saran ibu di colt itu, Neo berusaha tak menghiraukan. Dia berharap ular-ular itu tak muncul di depannya.
Cahaya mulai terang saat Neo sampai di ujung jalan setapak. Di depannya terbentang padang rumput. Neo menjejakkan kakinya di rumput setinggi lutut, meninggalkan pohon-pohon besar di belakang. Langkahnya makin cepat karena di tengah padang rumput berdiri tembok tinggi yang membentang panjang. Seperti tembok pagar Paranormal Academy di Jakarta.
Walau ujung langit telah memerah, masih terlihat di tengah tembok panjang itu sebuah pintu gerbang. Neo mengarahkan langkah ke sana. Tapi baru beberapa detik berjalan, tiba-tiba dia merasa ada orang di belakang. Neo pun berbalik. Dan tak jauh darinya seseorang sedang berdiri. Anak laki-laki seumurannya, memakai kaca mata hitam, senyumnya tersungging. Untuk beberapa saat Neo tertegun karena dia tak tahu dari mana munculnya anak yang hanya berdiri dengan melipat tangan di dada.
“Sori, namaku Jetro.” Anak itu pun mengulurkan tangan.
“Borneo.” Agak ragu Neo membalas.
“Kamu mau sekolah di Paranormal Academy,” tanya anak itu.
“Ya,” jawab Neo singkat sembari memandangi anak di depannya. Rambutnya lurus. Belakangnya pendek, depannya panjang tergerai angin menutup dahi. Dia memakai kemeja putih dengan dasi hitam. Bibirnya masih cengar cengir.
“Dari mana kamu tahu sekolah ini?” tanya anak itu lagi.
“Ada orang misterius kasih pesan di surat.” Neo menjawab apa adanya sembari mengeluarkan lipatan kertas dari sakunya.
Anak itu jadi serius dan membaca kertas yang diberikan Neo. Lalu dia pandangi Neo seksama.
“Orangnya kayak gimana?”
“Aku nggak lihat jelas, baju sama celananya warna putih, pakai sandal, rambutnya banyak ubannya.”
Anak itu pun melipat kertas di tangannya lalu mengembalikan ke Neo. Seperti dia sudah tahu orang yang diceritakan Neo.
“Kamu dari mana?”
“Dari Jakarta.”
“Dari Jakarta nggak bawa apa-apa?”
“Ranselku tadi dirampas di bis.”
“Di daerah kumuh sebelum Tanah Hitam?”
“Iya, banyak rumah kumuh di sana.”
“Daerah itu memang nggak aman dari dulu.”
Lalu anak itu memandangi tembok panjang di tengah padang rumput.
“Sekolah udah jalan tiga bulan di sini. Tapi nggak masalah, sekolah ini nggak seperti sekolah yang lain. Kamu bisa daftar hari Senin. Besok libur hari Minggu.” Anak itu mulai cengar-cengir lagi.
“Kamu sekolah di sini?” tanya Neo.
“Iya, aku pindahan dari Jakarta International Paranormal Academy.”
Neo masih memandangi anak yang di matanya lucu tapi arogan. Sebenarnya dia ingin banyak menanyakan sesuatu tapi anak itu sudah mengulurkan tangan.
“Ayo, aku temukan kamu sama temenku. Kalau ada dia, kamu nggak usah khawatir urusan administrasi dan tetek bengek sekolah. Pegang tanganku!”
Neo tak tahu maksud anak itu. Tapi dia tak punya pilihan. Hanya anak itu yang dia temui di tempat seperti ini. Dan hari bertambah gelap. Neo pun mengulurkan tangan. Anak itu mengeratkan genggamannya saat menjabat tangan Neo.
“Siap?” Anak itu nyengir.
Belum terpikir untuk menjawab, tiba-tiba Neo merasa terseret ke suatu tempat yang tak begitu jelas dia melihatnya karena sekelilingnya serasa bergerak begitu cepat. Dan saat Neo bisa melihat jelas, dia tidak di padang rumput itu lagi. Padang rumput itu sudah tidak ada. Di depan Neo kini sebuah ruang besar. Neo berada di dalam hall. Tempat olah raga seperti di sekolahnya. Tapi ini lebih besar. Di tengahnya ada lapangan basket. Dan seorang anak perempuan ada di sana sedang berputar-putar dengan sepatu roda. Rambutnya lurus, panjang sepunggung. Poninya rata di dahi. Baju lengan panjang dan rok sebetisnya warna hitam. Tampaknya dia belum sadar, Neo dan anak berkaca mata hitam ada di situ.
“Namanya violet. Dia bisa meramal masa depanmu kalau kau mau.” Senyum anak berkaca mata hitam melebar sembari mengajak Neo mengikutinya.
Suara langkah-langkah membuat anak perempuan itu sadar ada orang lain di situ.
“Jet? Kamu pakai teleport?” Anak perempuan itu berhenti mengayuh sepatu rodanya. Mukanya kesal pada anak yang dipanggilnya Jet.
“Tenang, jaraknya deket. Lagian biar cepet.” Anak berkaca mata hitam berlagak tenang.
“Bukannya sudah aku kasih kunci gerbang samping? Kalau sampai guru tahu kamu pakai teleport, masalahnya bisa ribet.”
“Tenang Vio… Percaya deh, aku tahu apa yang kulakukan. Nih tamu kita yang kamu ramalkan datang hari ini udah hadir.”
Dengan sisa kesal di wajahnya, anak perempuan itu memandang Neo seksama. Dia melihat anak laki-laki lusuh, memakai kaos hitam dan jean belel. Sepatu kets-nya tidak putih lagi. Lalu sekali kayuh, anak perempuan itu meluncur mendekati Neo.
“Violet.” Dia mengulurkan tangan.
“Borneo.” Neo cepat menyambut.
“Dia dari Jakarta. Ranselnya dirampas di dekat Tanah Hitam.” Anak berkaca mata hitam menyela.
Anak perempuan itu memandang Neo sejenak tanpa melepas jabat tangannya. Air muka anak perempuan itu polos tapi tatapan matanya dalam. Alisnya tebal dan halus. Bibirnya kecil, merekah seperti selalu ingin mengatakan sesuatu.
“Kalau begitu kamu ikut ke rumahku,” katanya sembari melepas jabat tangannya. “Sementara pakai baju yang ada dulu. Besok aku belikan semua keperluanmu.”
Anak perempuan itu pun berbalik meninggalkan Neo.
“Vio! Bukannya dia rencananya tinggal di asrama.” Anak berkaca mata hitam berusaha mengejar. Lalu mereka berdua terlihat beradu argumen di salah satu sudut hall. Tapi anak perempuan itu seperti tak terlalu menggubris sembari mengganti sepatu rodanya dengan sepatu boot.
Dari jauh Neo memperhatikan tingkah mereka. Setidaknya di tempat ini Neo sudah punya dua teman. Jetro dan Violet. Yang satu dipanggil Jet. Yang satu dipanggil Vio. Neo berusaha mengingatnya.
Lampu hall padam. Vio telah mematikannya. Hanya ruang dekat pintu keluar yang terang. Vio menenteng tasnya ke sana. Jet menyusul sembari memanggil Neo untuk mengikuti mereka.