Jam di dinding kamar menunjuk angka 12. Neo terbaring di bawah selimut. Dingin AC dan kasur empuk membuatnya cepat mengantuk. Apalagi setelah perjalanan dari Jakarta. Dalam mata terpejam, terlintas bagaimana dia telah bertemu teman-teman barunya. Tak terpikirkan bagaimana dia datang ke sini mencari sekolah baru hingga muncul misi yang diceritakan Vio. Cerita Vio sungguh masih di luar jangkauannya. Saat ini dia coba untuk menerima apa adanya. Badannya yang letih membuat otaknya susah berpikir. Tapi di ambang tidur, sayup dia dengar suara. Neo terjaga dari kantuknya. Dia mendengar suara perempuan menangis. Suara itu dari ruang sebelah. Dengan sedikit konsentrasi, Neo membiarkan pandangannya menembus dinding. Ruang remang di sebelah terlihat seperti ruang keluarga. Hanya lampu kecil di meja yang menyala. Tapi Neo bisa melihat seorang anak perempuan ada di sana. Anak itu duduk di kursi roda. Neo menambah konsentrasi, memperjelas pandangannya. Dan betapa kagetnya dia setelah bisa mengenali wajah itu. Anak di kursi roda itu Vio. Walau gelap, Neo bisa melihat kedua kaki itu cacat hanya sebatas lutut. Vio pakai celana pendek. Neo bisa melihat bekas amputasi. Neo belum percaya, dia amati lagi wajah itu. Ya benar, dia Vio. Matanya tergenang air hingga membasahi pipi. Dia sesenggukan menatap sebuah foto besar di dinding. Foto seorang ibu muda diapit dua anak kecil. Salah satu anak kecil itu wajahnya mirip Vio.
***
Neo membuka mata ketika sinar lembut menerpa wajahnya. Bi Tumi sedang membuka korden hingga cahaya pagi masuk ke kamar. Neo pun beranjak dari pembaringannya.
“Tidur aja kalau masih ngantuk Mas Neo,” kata Bi Tumi sembari melap meja di dekat jendela.
“Udah nggak ngantuk Bi.” Neo basa basi.
Di jendela yang terbuka, hamparan kota terlihat luas di bawah fajar. Juga taman di lantai bawah dan salah satu sudut kolam renang. Neo sengaja menembuskan pandangannya ke dinding dekat jendela. Hingga kolam renang dengan jernih air yang memantulkan biru porselen leluasa dia lihat. Lalu seorang anak perempuan yang telentang di atas balai. Vio dengan baju renang terlihat menikmati suasana pagi. Kali ini jelas Neo melihat kedua kaki Vio yang cacat hanya sebatas lutut.
“Kaki Vio kenapa Bi?” Neo bertanya polos.
“Ya itu Mas Neo. Waktu itu sekeluarga pergi naik mobil, kecelakaan. Sampai mama dan adiknya Mbak Vio meninggal.” Bi Tumi bercerita sembari masih melap meja. “Mbak Vio sama bapaknya selamat. Tapi kaki Mbak Vio harus diamputasi. Sekarang Mbak Vio pakai kaki palsu.”
“Kejadiannya udah lama ya Bi?”
“Itu waktu Mbak Vio masih SD. Sebenarnya Mbak Vio udah tahu kalau akan ada musibah kecelakaan itu.” Suara Bi Tumi serius. “Mbak Vio kan bisa melihat kejadian yang akan datang. Tapi mama sama papanya selalu nggak percaya. Waktu itu Mbak Vio sudah sampai nangis-nangis nggak mau ikut. Tapi bapaknya malah marah-marah.” Bi Tumi menghentikan ceritanya.
“Foto di ruang sebelah itu foto ibunya Vio ya Bi?”
“Iya, itu foto Mbak Vio sebelum kecelakaan sama mamanya, juga sama adiknya.” Sepertinya Bi Tumi tidak sanggup bercerita lagi. Dia melap air di mata dengan bajunya.