Pagi ini gerimis. Tapi Dru sudah menunggu di area parkir saat Neo dan Vio turun dari mobil. Dru bilang pada Neo, dia akan membantu perihal ransel itu, tapi dia juga butuh bantuan. Dia akan membicarakannya usai sekolah di gedung kesenian. Tapi serta merta Vio menolaknya. Vio ingin pembicaraan dilakukan di gedung olah raga. Dru dan Vio sempat terlihat tegang. Neo pun menengahi agar mereka bicara di asrama anak laki-laki. Vio setuju dan langsung meninggakan tempat itu. Tapi Neo masih disitu. Dia masih memikirkan Ceri.
“Gimana Ceri? Apa sudah mendingan?” tanya Neo pada Dru.
“Sudah membaik. Bola matanya sudah menghitam. Tapi rambutnya masih putih,” jawab Dru.
Neo tahu, dua hari lagi Ceri akan pulih.
“Besok lusa aku akan menjenguknya lagi,” ujar Neo.
Dru mengangguk dan tersenyum.
Usai jam sekolah, Neo, Vio dan Dru menuju asrama anak laki-laki. Di sana ada Jet dan Jag. Tapi ada beberapa anak lain di lobby asrama. Mereka butuh tempat sepi. Jet mengusulkan ke tempat jemuran di lantai empat.
Tempat jemuran itu agak basah. Gerimis sudah berhenti meski langit mendung. Dru pun menceritakan masalahnya pada empat anak yang berdiri di depannya. Dia dan Ceri sering dicegat gerombolan anak laki-laki saat malam pulang kerja. Mereka anak-anak nongkrong di jalan yang sering Dru dan Ceri lewati. Mereka sudah kurang ajar. Kadang mereka memegang dan mencolek. Terakhir mereka mulai meminta uang.
“Saya lihat kalian ikut ekstra bela diri. Saya cuma minta tolong untuk memperingatkan mereka biar nggak kurang ajar. Karena saya rasa di antara mereka ada yang punya ilmu.” Dru menjelaskan.
Keempat anak di depan Dru masih diam. Neo, Jet dan Jag memang tidak bisa mengambil keputusan. Kini semuanya tergantung Vio.
“Aku rasa apa yang sedang kami selidiki bukan main-main.” Vio buka suara. “Misi ini tidak bisa dibandingkan dengan masalah-masalah kecil. Misi ini bukan sekedar masalah kriminal atau anak nongkrong.”
Sepertinya kata-kata Vio membuat suasana jadi panas. Neo merasakan itu. Wajah Dru berubah walau telah berusaha terlihat tenang.
“Kami mungkin akan menghadapi kekuatan yang lebih besar yang bisa membahayakan Paranormal Academy. Ini mungkin bisa menjadi masalah hidup dan mati.” Vio menambahkan.
Tapi Dru malah tertawa sinis. Vio agak kaget dengan reaksi Dru.
“Apa yang kamu ketahui tentang kematian?” tanya Dru.
Lalu Dru berjalan ke ujung. Di tepi batas lantai jemuran ada tembok pembatas setinggi hampir satu meter. Dru memanjat dan berusaha berdiri di atasnya.
“Apa yang kamu ketahui tentang kematian?” Dru mengulang kata-katanya. Senyumnya sinis. Wajahnya menantang. Dia membentangkan tangannya untuk menjaga keseimbangan agar tak jatuh.
Neo kaget. Dia tak menyangka Dru akan bereaksi seperti itu. Neo jadi tegang. Jatuh dari ketinggian lantai empat bisa menyebabkan kematian. Tapi tidak dengan Vio. Pelan dengan kaki palsunya dia berjalan ke ujung. Vio pun mulai memanjat tembok pembatas.
“Vio ngapain kamu?” teriak Neo.
Tapi Vio sudah ada di atas tembok. Dengan kaki palsu, Vio agak kesulitan menegakkan badannya. Tapi dia tetap memaksakan diri. Tubuhnya gemetar ketika mulai membentangkan tangan. Saat berdiri tegak, Vio menatap lurus ke arah Dru. Mereka kini sedang berhadap-hadapan di atas ketinggian yang bisa menyebabkan kematian. Tinggal Neo yang kebingungan. Ini sudah di luar batas.
“Vio, turun dari situ!” pekik Neo.
Tapi Jet malah tertawa.