Di meja makan, Vio memandangi Neo lama setelah Neo mengungkapkan niatnya menerima tawaran Dru. Isi piringnya yang masih setengah sementara tidak dihiraukan.
“Kamu melakukannya untuk Ceri?” tanya Vio datar.
Neo mengangguk. Vio sebenarnya tak setuju. Tapi dia mengerti.
“Kalau kamu nggak ikut, nggak apa-apa,” kata Neo. “Aku juga nggak memaksa Jet sama Jag untuk ikut.”
Pelan Vio melanjutkan makan malamnya. Demikian juga Neo.
“Toh kalau aku berhasil, Dru tetap akan merunut sejarah ransel itu kan,” tambah Neo.
Vio masih diam. Tapi Neo ada benarnya.
***
Di depan perpustakaan, Neo menunggu Ceri. Sebelum mengungkapkan niatnya pada Dru, Neo ingin bertemu Ceri. Dari kejauhan Ceri sudah tersenyum begitu melihat Neo berdiri sendirian. Dru pun berjalan terus menuju kelas, membiarkan Neo menemui Ceri. Walau sama-sama kikuk, Neo dan Ceri terlihat berbunga-bunga pagi ini. Neo pun menanyakan gerombolan anak yang sering mencegat Ceri seperti yang diceritakan Dru. Ceri bilang, karena mereka dia jadi merasa takut untuk berangkat kerja.
“Jangan takut,” kata Neo. “Mereka cuma anak-anak nongkrong. Aku jamin sebentar lagi mereka tidak akan mengganggumu.”
Ceri belum sepenuhnya mengerti maksud Neo. Tapi setidaknya kata-kata Neo sedikit memberikan rasa aman pada dirinya. Dan bel pun berbunyi. Mereka harus buru-buru masuk kelas. Namun sesuatu terlintas di kepala Neo. Sesuatu yang ingin dia ungkapkan pada Ceri dari kemarin.
“Ceri, ada yang ingin kusampaikan sama kamu,” kata Neo.
Kata-kata Neo membuat Ceri menahan langkahnya. Ceri memandangi muka Neo yang serius.
“Aku minta kamu berjanji,” lanjut Neo.
Ceri masih bingung.
“Maukah kamu berjanji?” tanya Neo.
Ceri mengangguk.
“Aku minta kamu berjanji tidak akan lagi menyembuhkanku kayak kemarin,” Neo menjelaskan.
“Kenapa?” tanya Ceri.
“Mmm, nggak apa-apa. Aku nggak ingin kamu sakit lagi kayak kemarin.”
“Tapi kalau kamu mau mati?”
“Ya biarin aja aku mati.”
Ceri tertawa. Mata beningnya berbinar-binar memandangi anak polos di depannya. Dan Neo tak rela suatu saat Ceri harus mati karena dirinya.
Saat istirahat, Neo mengejar Dru dan mengajaknya bicara di tempat sepi. Di antara rak-rak buku perpustakaan, Neo mengungkapkan niatnya untuk menerima tawaran Dru.
“Terus, temenmu yang lain mana?” tanya Dru.
“Aku nggak memaksa mereka untuk ikut,” jawab Neo
“Bukannya kamu baru ikut ekstra bela diri?”
“Iya, baru tiga kali ikut.”
“Terus, kamu yakin bisa membuat anak-anak kurang ajar itu jadi takut?”
Saat kembali ke kelas, Neo merasa sangat bodoh. Dru benar, betapa dia tidak memikirkan situasi yang akan terjadi. Seorang diri, dia hanya seorang anak yang lemah. Semua gara-gara tekad besarnya untuk melindungi Ceri. Kini dia merasa harus mengiba pada Jet dan jag untuk ikut. Neo menemukan mereka di toilet. Tapi belum sempat Neo memikirkan kata-kata untuk bicara, Jet sudah menghampirinya.
“Jadi kapan kita akan jalankan rencana Dru?” Jet cengar-cengir.
“Maksudmu,” tanya Neo.
“Katanya kamu sudah bilang sama Dru untuk jalankan rencananya.”
“Iya, tapi aku butuh banget bantuan kalian.”
“Ya, kami pasti bantu.”
“Beneran?”
“Iya, bener.”
“Tapi kamu sudah bilang sama Vio?”
“Justru Vio yang suruh aku dan Jag untuk bantuin kamu.”
Siang itu di tempat jemuran asrama anak laki-laki, sebuah rencana tengah disusun. Berempat, Neo, Dru, Jet dan Jag serius membicarakan apa yang akan mereka lakukan. Mereka berhadapan rapat dan berbicara dengan suara pelan. Hingga mendung pun mulai bergumpal di langit. Di balik gugusan rimbun Hutan Ular, langit telah menghitam.