PARAPET

Tika Lestari
Chapter #3

Coklat Hangat

2016

Pagi seperti biasa, aku sudah disibukkan dengan urusan dapur. Hal ini sudah aku biasakan sejak beberapa hari ini. Meskipun tidak rutin setiap hari. Memasak bukanlah kesukaanku. Harus bangun pagi hari saat lagi enak-enaknya tidur. Tapi jika aku tidak melakukan ini, apa kata mereka? Bagaimana reputasiku di hadapan dia? Tentu aku harus pencitraan dong.

Terhitung sudah tiga hari ini aku dan teman-teman yang lain tinggal di Kabupaten Magetan. Sebagai mahasiswa semester 6, kampus kami memberlakukan KKN atau Kuliah Kerja Nyata. Anggota kelompok pun satu kampus yang dipilih dari fakultas yang berbeda karena sistemnya acak. Alhasil, hanya beberapa mahasiswa yang kukenal karena kita satu fakultas dan sering ketemu.

Aku sendiri tergolong cewek yang mudah beradaptasi. Di mana pun berada, aku bisa saja menempatkan diri. Prinsipku itu, selagi aku nggak mengganggu, pasti mereka juga nggak akan mengganggu aku. Sehingga aku tidak kesulitan untuk mengenal anggota yang lain. Buktinya di tiga hari ini aku sudah kenal mereka semua. Meskipun tidak bicara terlalu banyak, tapi aku sudah hafal wajah dan namanya.

Jadi ingat sejak masih kecil dulu, aku memang suka sekali menghafal nama seseorang. Apalagi orang baru, pasti gampang hafal.

Hari Rabu giliranku piket dengan 6 anak lainnya. Selain memasak untuk satu hari, piketnya juga membersihkan peralatan dapur dan juga isi basecamp. Selain itu juga membuang sampah di pinggir sungai yang letaknya 10 meter dari basecamp.

Aku memasak sama Rinai, sejak kenal dia, entah kenapa aku bisa langsung akrab ketimbang dengan yang lain.

Aku ingat saat pertama kali berkumpul sesama kelompok KKN. Rinai yang aktif berbicara denganku, bahkan saat makan siang pun juga bareng. Selain itu pada pagi hari sebelum berangkat ke Magetan, Rinai lah yang menjemputku mondar-mandir sambil bawa barang dari kos temanku menuju kampus.

Aku ingat saat itu menginfokan di grup WhatsApp, kalau aku perlu bantuan. Rinai saat itu yang pertama menjawab. Akhirnya dia menjemputku dengan mengendarai sepeda motor pacarnya. Setengah jam kemudian, Farel marah ke aku, katanya aku ingkar janji. Salahku sih, sebab semalam sebelumnya, aku udah chat Farel untuk minta tolong paginya jemput aku. Karena letak kos temanku dan kampus lumayan. Habisnya Farel kelamaan, meskipun pas Farel sampai kampus, upacara pembukaan KKN pun belum dimulai. Aku kurang sabar katanya.

Rinai yang kemudian membelaku, dia bilang kalau daripada sendiri mending jemput Rubi. Jadi sejak saat itu, Rinai sudah memahamiku

"Eh Bi, tolong ambilin penyedap itu!" Pinta Rinai.

Kuhentikan aktivitasku memotong tempe, dan bergegas mengambil penyedap berbungkus merah yang letaknya lebih dekat denganku.

Rinai kemudian membuka ujungnya dengan giginya yang berbehel. Menaburkan pada panci yang saat itu di atas kompor dengan asal.

"Dikit aja," Cegahku, saat dia ngasih penyedap sesukanya.

"Udah diem, yang penting hasilnya enak."

Aku hanya geleng-geleng dan mengangkat bahu dengan masa bodo, terserah Rinai lah. Orang ini anak yang pintar masak. Rajin dia kalau ke dapur, dari pada pegang sapu atau mencuci peralatan masak. Tapi sepertinya dia pintar masak sih kalau di basecamp. Lagipula semua masakan bakal habis. Tak ada pilihan lain, sebab hidup selama satu bulan di sini harus hemat.

Apalah dayaku yang ke dapur juga baru sekarang ini. Masak bukan kegiatan yang kusukai. Tapi nggak apa-apa kalau sedang pencitraan karena satu kelompok dengan dia. Tapi di sisi lain, apa kata mereka kalau aku tidak turut serta piket. Pasti digunjing sih sama anggota kelompok yang lain.

Terutama anak perempuan tuh yang suka menyemut buat menggunjing. Masih mending kan aku bisa memotong tempe. Lauk wajib, soalnya makan daging itu bergizi.

Daging kedelai maksudnya.

"Tadi sekalian belanja buat sore?" Tanyaku kemudian.

"Enggak, sore nanti kan diundang sama Pak Lurah buat acara penerimaan kita, jadi nggak masak." Rinai menjawab tanpa menoleh ke arahku.

"Oh, yang kemarin anaknya ke sini itu kah? Kalau nggak salah kemarin kan ada tuh." Aku memang melihat sekilas kemarin siang.

"Nah betul," jawab Rinai, "tau nggak, selain ngasih undangan, itu anak juga caper gitu sama Fernando," lanjut Rinai sambil mematikan kompor.

Duh, Fernando kan yang disukai anak Pak Lurah? Bukan dia kan? Syukurlah.

"Yaudah buruan digoreng tempenya keburu dibuat sarapan nanti," ucap Rinai.

*

"Sat, geser dong, mau lewat nih,"

Ucapku pada Satria, teman satu kelompok yang juga satu fakultas denganku. Saat ini aku dengan yang lain sedang melingkar di ruang tamu basecamp. Hal seperti ini tentu menjadi agenda rutin tiap malam hari. Membahas program kerja besoknya dan juga evaluasi selama satu hari ini.

Kulihat dia menggeser posisinya ke kanan. Memberikan tempat padaku di sebelah kirinya. Ia tak banyak bicara karena dasarnya ia memang pendiam.

Usai acara penyambutan sekaligus makan malam di kantor kelurahan tadi, memang aku tak langsung balik ke basecamp. Dengan Rinai, masih ada urusan yang sedikit rumit. Makanya sekarang agak terlambat dan nggak kebagian tempat. Rinai yang langsung menuju keberadaan Ochi membuatku mengikutinya.

Aku menyimak evaluasi satu-satu yang diutarakan teman yang lain. Mencatatnya dan kemudian ditempel di dinding ruangan pakai slotip.

"Tadi dari mana? Baru lihat kamu?" Pertanyaan Satria membuatku menghentikan aktivitasku.

Sambil menoleh padanya, aku membuka suara pelan. Pasalnya saat ini juga menghormati teman yang lain. Jadi setengah berbisik-bisik.

"Bukan urusanmu, kepo amat sih!" Ucapku menahan tawa.

Satria melotot tanpa suara, menandakan jawabanku baru saja tak ia suka. Aku hanya tersenyum simpul dengan tawa samar. Tentu tanpa ku tahu jika di seberang terlihat Yudit, Pak Kordes atau koordinator desa di kelompok kami, sesekali melempar pandangannya ke arahku.

"Eh tanya serius," Ucap Satria agak tinggi suaranya.

Rinai di sampingku mendengar suara Satria, kemudian mendapat pelototan dari Rinai yang merasa terganggu dengan kebisingan yang kami buat.

Lihat selengkapnya