PARAPET

Tika Lestari
Chapter #4

Melihat Cermin

Sebagian orang beranggapan kalau kesempatan kedua jarang ada. Jarang bukan berarti tidak pernah ada. Bagiku memang hanya orang pilihan yang bisa merasakan apa itu kesempatan kedua. Terkadang kita tidak bisa memilih akan adanya kesempatan tersebut. Kemudian kita juga tidak bisa menolak jika kesempatan kedua itu datang.

Hal ini ku alami saat melangsungkan KKN. Aku kini percaya kalau setiap orang pasti memiliki kesempatan kedua. Asal kita percaya dan menunggu dengan sabar. Setiap orang tidak akan pernah tau takdirnya di masa depan seperti apa. Jika kehendak dariNya sudah tergariskan, memang kita bisa merubah? Tentu tidak. Apa yang bisa dilakukan selain menerima dengan ikhlas dan menjalani dengan pasrah?

Selain menerima yang sudah terjadi, masa lalu tidak untuk disesali. Akan tetapi bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk melewati kisah ke depannya. Sementara itu, saat ini tugas kita harus berhati-hati saat menjalaninya. Agar tidak ada kata menyesal di masa depan.

Hari ini aku tak piket, perlahan kubuka mata dan melihat Rinai masih terpejam di sampingku. Lantunan tahrim terdengar dengan jelas, berasal dari musholla depan gang basecamp. Di sini suasana lebih tenang, hanya terdengar tahrim, tidak ada bising kendaraan. Beda dengan di kota, jadi vibes pagi hari yang sejuk dan damai lebih terasa di desa.

Aku menggapai smartphone yang terletak di atas meja samping divan. Alarm belum bunyi karena memang belum waktunya. Tapi segera ku off kan.

"Nai, bangun gih, udah mau subuh nih," tanganku menggerakkan bahu Rinai. Ku rapikan kembali selimut agar lebih membungkus tubuhku. Dinginnya terasa sekali.

Hanya satu kali membangunkan dengan suara pelan, Rinai dengan mudahnya sudah terbangun. Dia bangkin dan segera menuju ke kamar mandi. Tanpa berisik, berjalan perlahan, kemudian terdengar memencet saklar untuk menghidupkan lampu. Tidak lucu jika tersandung karena gelap.

Dari atas divan, aku bisa melihat teman yang lain masih terlelap. Terlihat Yudit tidur dengan mulut agak terbuka. Aku bergidik ngeri, apalagi kulihat bantal Rinai lah yang sedang dipakai.

Mataku masih mencari keberadaan Satria. Rupanya ia tidur di samping Farel. Lucu sih gaya tidur mereka, udah kayak anak pacaran. Astaga, aku melihatnya sambil tersenyum geli.

"Masih pagi, udah kehabisan obat, senyum-senyum sendiri," suara Rinai membuyarkan jenakaku.

"Ngapain senyum mulu?" lanjutnya bertanya.

"Nggak apa kok," jawabku tanpa memberi tahu alasan sebenarnya.

"Buruan wudhu sana! Habis ini ke Mushollah bareng," ajak Rinai.

"Ehmm enggak deh, aku nanti ajah di sini," ucapku terbata.

Aku semakin merapikan selimut, bahkan sampai atas kepala. Rinai menjitak kepalaku dengan sengaja. Lagipula aku memang terbiasa bangun sewaktu tahrim. Hanya saja aku melanjutkan tidurku lagi. Tapi bermanfaat juga kan, aku bisa jadi alarm Rinai. Coba kalau aku tadi tak bangun duluan pasti dia ketinggalan jamaah buat subuhan di mushollah.

Sungguh pahala yang kudapat pasti berlipat karena membangunkan orang yang mau sholat.

*

"Ciye Raga, udah rapi ajah itu rambut," ejek Farel.

"Emang situ, pakek sisir ajah belum bener," balas Satria.

"Mentang-mentang cogan yaa, kamu sih menang banyak," Farel mengibaskan rambut basahnya dengan handuk kecil, "ciye anak kecil kemarin ngefans kamu loh Ga,"

Satria tak menggubrisnya, ia justru sibuk dengan merapikan almamater biru dongker yang saat ini dikenakannya dengan gagah.

"Eh, Yudit ke mana? Nanti jadi rapat sama para ketua RT kah?" tanya Satria.

Sambil mengancingkan kemejanya Farel menengok keberadaan Yudit, "tau, tuh anaknya masih tidur,"

"Yaudah, nanti di grup suruh ngabarin, biar kita juga nggak bolak-balik gitu," ucap Satria, "aku nggak bawa hp."

Lamat-lamat aku mendengar percakapan Satria dengan Farel. Mataku masih terasa berat untuk terbuka. Kulihat di samping Rinai juga tidur. Di samping lagi Ochi juga tidur. Jadi usai jamaah subuh tadi, Rinai kembali melanjutkan tidurnya. Lagian kami memang tidak sedang piket, jadi bersantai saja.

Tempat tidur kami memang tak memiliki pintu. Hanya terdapat skat kayu yang sama sekali tak memiliki fungsi. Bayangkan saja, rumah penduduk sini rata-rata lebar. Jadi ruang tamu sekaligus kamar juga langsung terlihat ke arah luar. Beruntung tempat tinggal kami juga tak dipisah antara laki-laki dan perempuan. Bisa ketakutan para wanita jika dibiarkan sendirian di basecamp.

Lagipula kami sekelompok juga nggak bakal melakukan hal yang iya-iya kan?

Lihat selengkapnya