"Ada telfon nih dari Ayah kamu."
Aku mengambil ponsel yang berada di tangan Satria. Aku memang meninggalkan ponselku dekat dengan mesin print. Lagipula di sana tadi sedang ku charger. Aku sendiri juga menghampiri Fitri.
Aku melangkah ke teras basecamp. Di sana terdapat kursi dari bambu yang di cat coklat. Sedikit mengurangi suara bising yang ditimbulkan anak-anak di dalam basecamp.
"Assalamualaikum," ucapku.
"Wa'alaikumussalam, Rubi sehat Nak?"
Ternyata suara di seberang sana Ibu. Rindu rasanya dengan beliau, padahal belum ada satu bulan. Tak terasa kedua mataku berkabut hanya dengan mendengar suaranya.
"Baik Bu, Ibu sendiri di sana?" tanyaku balik.
"Baik juga Nak, di sana hati-hati yaa, jangan aneh-aneh loh," ucap Ibu.
"Iya Bu, Rubi ndak aneh-aneh kok di sini," balasku.
"Oh iya katanya kan kamu satu kelompok sama siapa itu? Yang dekat sejak semester satu dulu?"
Aku menjauhkan teleponku tak ketara, pasalnya Satria saat ini berada di sampingku. Entah kenapa ini anak mengikutiku.
Aku memang bercerita dengan Ibu kalau aku satu kelompok dengan Satria. Keterbukaanku dengan Ibu juga membuat siapapun yang dekat denganku pasti tahu.
"Eh, enggak lah Bu, udah Rubi di sini baik-baik kok, Rubi nggak macem-macem atau aneh-aneh," jelasku mengalihkan pembicaraan.
"Iya, pokoknya baik-baik."
"Ibu jangan sakit-sakit loh Bu," kataku berbicara.
Pasalnya Ibu baru sembuh dari sakitnya. Habis lebaran kemarin Ibu tidak enak badan. Memang tak terlalu parah. Namun, aku sebagai anak tentu khawatir dengan keadaan beliau. Ditambah lagi aku berangkat KKN selama satu bulan, sudah pasti aku bakal kepikiran Ibu.
"Iya Bi, mau ngomong sama Bapak?" tanya Ibu.
"Emang Bapak mau Bu?" tanyaku balik.
"Ya enggak sih, yasudah Ibu tutup, kamu baik-baik pokoknya yaa."
"Iya Bu, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Bapak bukan berarti nggak sayang sama aku. Makanya tak mau bicara padaku melalui telepon. Aku paham kalau sebenarnya Bapak mengkhawatirkan aku. Hanya saja Bapak cenderung diam dalam menunjukkan sayangnya. Beliau tak banyak omong, bahkan Ibu sendiri kadang yang mengajaknya bicara saja pasti balasan Bapak seperlunya.
Ibu bilang Bapak itu juga sensitif banget orangnya. Berbicara denganku saat berjauhan pasti membuatnya bersedih. Berfikir apa aku kenyang makan di sini dan lainnya. Sensitivitas Bapak sangat aku tiru, yang benar saja jika memang air mataku mudah menetes untuk hal yang ngena di hati.
"Cengeng banget sih Bi," ucap Satria yang memandangku.
"Diem kamu, namanya juga kangen sama Ibu," ucapku.
"Eiitsss jahat amat kamu, lagian ya, belum juga satu bulan," ucap Satria.
"Beda deh Sat, namanya juga cewek, kamu aja yang nggak pernah ngerasain jauhnya dari orang tua."
Satria bergeming sejenak, kemudian pandangannya menatap lurus, "itulah bedanya cowok dengan cewek, cowok bakal susah mengakui jika dia memiliki sisi sensitif pada saat membahas keluarga, kamu kira aku juga nggak pernah merasakan yang kamu rasakan apa."
"Enggak."
Aku menjawab langsung tanpa merasa terbebani atau bersalah. Kemudian aku menatapnya membutuhkan jawaban atas ucapannya tadi.
"Lah kamu kira aku tinggal di pondok pesantren dulu pulang pergi?" jelas Satria, "apa aku sudah kayak Balveer yang dengan mudahnya berpindah tempat dari Sidoarjo ke Jombang?"
Sekarang giliranku yang dibuatnya bingung. Bukan bingung sih, lebih tepatnya berfikir.
"Kamu dulu tinggal di pondok?" tanyaku, "kok aku nggak tau sih."
"Kamu sendiri yang nggak mencari tahu."
Ngena, oke di nyindir yang tepat sasaran banget.
"Yaelah, maaf."