"Eh, kamu Fit."
Aku menggeser posisi dudukku. Memberi ruang pada Fitri supaya duduk disampingku. Sambil membawa bantal doraemonnya, dia menghampiriku saat ini.
Aku sendiri tak yakin dengan pertanyaannya baru saja. Pertanyaan yang begitu sensitif menurutku. Lagi pula Fitri tahu dari mana tentang aku dan Satria. Kalau Rinai mah nggak bakal ember. Lagian Rinai memang cuek dengan urusan orang.
Prinsipnya itu, sesi curhat hanya menyangkut empat mata. Rahasia ya rahasia, bukan untuk diumbar atau disebarkan. Jadi, cerita orang harus berhenti di telinga kita. Bukan berlanjut dengan mulut kita. Apalagi pakai ditambah atau dikurangi. Itu hal yang tidak baik.
"Biasa aja dih," ucap Fitri menyenggol bahuku "muka kok pucat banget dikasih pertanyaan gitu?"
Aku mengehela nafas berat.
"Enggak kok, ngapain cemburu?" ucapku.
"Ye, mana aku ngerti, itu kelihatan kali dari muka kamu," todong Fitri.
"Emang kenapa muka aku?" tanyaku.
"Rungsep, kayak hutan rimbun yang nggak terlihat jalan untuk kembali pulang."
"Ck, lebay amat."
Fitri hanya terkekeh. Aku merasa kesal dengan Satria. Jujur saja bukan karena iri dengan Rea. Aku sih nggak merasa di bawah Rea. Justru Rea bukan tipe Satria, begitu sebaliknya. Aku paham banget deh.
"Aku ini anak terate Bi, PSHT di kampus?" ucap Fitri.
"Terus?" tanyaku balik, dengan ekspresi bodo amat.
"Kamu nggak lagi mikir aku dikasih tau Rinai kan?" tanya Fitri.
Aku menggeleng lesu.
"Gini-gini aku sering nggak sengaja ngeliat gerak kamu dan Satria, kalau kamu pas lagi lihat Satria, dan sebaliknya."
Huh, nggak sengaja kok sering. Pembohongan publik nih!
Eits apa tadi? Sebaliknya? Artinya Satria terkadang juga diam2 melihat aku kah?
Duh, PD gratis kan?
"Cuma orang nggak peka yang nggak paham arti tatapan kalian berdua ya," ucap Fitri.
"Ah percuma juga deh ngeles sama kamu," ucapku.
"Santai ajah, kalau aku sih cuma nebak aja, lagian kasihan sama muka kamu, kok sedih gitu."
"Terus kamu punya solusi?" tanyaku.