PARAPET

Tika Lestari
Chapter #11

Apalah Daya

Aku bosan. Bosan dengan ketidakpekaan Satria. Bosan pula dengan kesakitan hati yang masih sama. Tapi aku tak bosan untuk bertahan. Bertahan meskipun menyakitkan.

Karena satu alasanku bahwa segalanya sudah diatur olehNya. Termasuk hati yang saat ini terjerat pada siapa.

Dua minggu ini, sudah banyak anak jurusan yang berbeda kelompok mengajakku jalan-jalan. Mulai dari berkunjung ke Tawangmangu, Telaga Sarangan, atau tempat wisata lainnya.

Biarpun aku biasa, maksudku wajah tak cetar cantiknya, tapi aku dikelilingi orang yang peduli denganku. Fais salah satu teman satu jurusan yang saat ini mengunjungiku di basecamp. Dia tidak sendiri karena ada Anto dan Aziz yang juga mengunjungiku.

Seperti biasa, aku menemani mereka di teras dengan gelaran tikar berwarna hijau. Sedikit camilan pun turut membawa kebersamaan kami.

"Bi, mana cinlokan kamu?" tanya Fais menggoda.

"Apa? Cilok?" Aziz menimpali dengan kebiasaan bercanda.

Aku hanya berisyarat supaya mereka tidak menggodaku. Sedangkan Anto hanya tersenyum samar dengan kepulan asap rokok yang berterbangan.

"Jangan buyarin mood deh, aku males bahas dia," dia yang nggak peka, tambahku dalam hati.

Fais dan Aziz malah tertawa keras dan menggodaku, "udahlah nggak usah galau gitu, mending jalan yuk ke Sarangan, naik bebek-bebekan," Aziz menawariku.

"Males ah, emang anak kecil, aku lagi males ke mana-mana Ziz," ucapku malas.

"Lah dari pada galau gitu Dek," Anto mulai bersuara.

"Enggak Bang, aku nggak galau kok, perasaan kamu aja kali ngeliat aku gitu," aku menyuarakan pembelaan.

Anto, dia dulu satu kelas denganku pas semester satu. Dia memang memanggilku Adek. Dan sebaliknya aku memanggil dia Abang. Bukan apa-apa sih, aku hanya merasa nyaman saat memanggilnya Abang. Meskipun beda Ayah dan Ibu.

"Ziz, kamu tau nggak siapa cinlokan Rubi?" tanya Fais.

"Kenal aku, kan satu fakultas sama kita, masak sih kamu nggak tau?"

"Enggak tau Ziz, cakepan mana sama aku?" ucap Fais menggodaku, tak lupa dia meraih tanganku.

Aku sengaja diam, lagi pula percuma deh narik tanganku sendiri. Pasti lah nggak bakalan dilepasin sama Fais. Bang Anton, mana peduli kalau Fais sudah menyabotase aku.

"Gantengan dia lah Is," ucapku tanpa berpikir.

"Masa sih? Mana sih anaknya?" Fais mendongakkan kepalanya ke arah ruang tamu.

Mana mungkin dia menemukan Satria, orang dianya lagi di luar basecamp. Ada-ada saja sih Fais ini.

Fais membalikkan telapak tanganku. Melukis samar garis tanganku yang terbentuk. Mungkin kalau orang yang pertama kali melihat kedekatan kami pasti disangka pacaran.

Lihat selengkapnya