PARAPET

Tika Lestari
Chapter #13

Sepiring Nasi Goreng

"Jadi bagaimana Bi?"

Aku melihat Satria sambil menghabiskan mangga kesukaanku. Di basecamp Naila ini kebetulan ada kebun buah di sampingnya. Tempatnya nyaman, ada 2 lantai meskipun lantai atas berfungsi untuk menjemur pakaian saja.

Malam begini Naila dan Ima mengajak rujakan. Kebetulan memang di kulkas banyak buah yang beragam. Ada sawo meskipun belum sepenuhnya matang, pisang yang sudah matang, jeruk nipis yang katanya buat es sirup, lalu mangga gadung yang kemampo.

Sederhana, Ima membuatnya hanya dengan mangga diirisi tipis-tipis. Kemudian diberi potongan es batu. Tidak lupa gula pasir plus kecap dengan irisan cabai rawit. Surga dunia rasanya bisa menikmati rujak mangga ini.

Aku sampai menghabiskan beberapa potongan. Naila sengaja memberi satu piring untukku dan Satria. Alasannya sih malas cuci piring banyak. Padahal aku paham kalau Naila niatnya menggoda.

"Iya balik basecamp aja," ucapku diakhir mangga habis.

"Nginep saja loh Bi, sudah malam ini," Ima menyahuti sambil memberiku air mineral.

Ima tadi memang menawariku untuk bermalam di basecampnya. Hanya saja aku yang tidak enak dengan Satria. Kalau tadi aku ke sini bareng otomatis pulang juga barengan sama.

"Nggak masalah kalau mau nginep di sini. Besok aku jemput lagi kok," ucap Satria.

"Besok kamu ngajar Sat, ndak enak juga sama anak yang lain," jelasku.

"Kan masih ada yang lain," jelas Satria.

"Enggak deh, aku mau pulang aja,"

Aku sebenarnya ingin nginap di sini. Basecamp lebih bagus dari yang di sana. Ada televisinya pula, kadang sampai lupa kapan nonton televisi semenjak di basecamp sendiri.

Aku melirik jam di layar smartphone di akhir gigitan mangga. Tampak dilayar pukul 10 malam. Sebenarnya bukan yang pertama aku keluar malam seperti ini. Bahkan kalau di Surabaya saja bisa sampai larut baru balik ke kosan.

Bersamaan itu aku melihat beberapa notifikasi WhatsApp dan aplikasi lainnya. Notifikasi yang ramai hanya di grup membahas hal yang tidak terlalu penting menurutku. Selain itu anak-anak di basecamp mengingatkan supaya tak terlalu larut pulangnya. Tetangga kanan kiri memang sudah tertutup pintunya. Tapi beberapa orang di pos ronda yang nanti kami lewati pasti ramai.

"Sat, balik yuk, udah malem ini."

"Siapa yang bilang masih siang Bi."

Fix, bukan Satria kalau tak menjengkelkan.

"Ya makanya ayo balik," ajakku.

"Yaudah, pamit sama yang punya rumah dulu," ucap Satria, "bro balik dulu ya, makasih buat hidangannya," ucap Satria pada temannya, aku tak tahu siapa namanya.

"Nai, balik dulu ya, next mampir di basecampku," pamitku pada Naila.

"Oke, berees."

Aku kemudian menghampiri Satria yang sudah di atas motor. Kemudian perlahan berlalu meninggalkan basecamp Naila. Di sepajang perjalanan aku hanya bisa diam entah kenapa. Berdua dengan Satria memang membuatku mati kutu. Begitu pun Satria yang tak mencoba untuk membangun pembicaraan.

Beda sekali saat kondisi ramai. Aku dan Satria bisa saling berkomunikasi dengan baik. Bahkan terkadang melempar candaan yang membuatku tertawa. Terkadang melupakan posisiku yang menaruh rasa kepadanya.

Angin malam yang memang tak baik untuk tubuh perlahan kuhirup dan kulepaskan. Di antara pikiran seperti ini aku sering berandai supaya aku tidak pernah dianugerahi rasa sedemikian. Sebagai perempuan aku begitu tersiksa saat jatuh cinta sendirian. Menumbuhkan rasa yang tak akan berbunyi karena bertepuk sebelah tangan.

"Bi," panggil Satria sambil melihatku di kaca spion, "jangan ngantuk dulu, nanti jatuh gimana," lanjutnya.

"Enggak Sat, nggak ngantuk lah," belaku.

Lihat selengkapnya