PARAPET

Tika Lestari
Chapter #14

Beda

Jika malam hari kemarin aku bisa berdua dengan Satria tanpa diganggu, beda dengan siang ini. Sejak pagi aku belum melihat batang hidungnya di mana. Padahal tadi aku bangun lebih awal. Pukul 06.25, padahal biasanya bangun pukul 06.30. Jangan tanya aku subuhan apa enggak. Pasti lah, cuma ya tidur lagi aku.

Aku mengurut kakiku yang sebelah kiri. Tadi pagi pas lagi jogging di teras basecamp, ada Bang Doni yang menemaniku. Rinai malas ku ajak jogging, alasannya sih karena capek. Sedangkan aku terbiasa jogging.

"Jogging bentar aja capek Bi."

"Tadi kejauhan sih, aku kan jadi capek gitu Bang."

"Sudah, besok jogging lagi yaa ehhehe."

"Beres, aku sih mau-mau aja," ucapku menerima tantangan Bang Doni, "hmmm anak-anak pada ke mana Bang?"

"Anak-anak apa Satria?" tanya Bang Doni menggodaku.

Duh, males ih bahas dia. Palingan juga lagi seneng-seneng tanpa ingat aku.

Kamu siapanya Bi? Tanya Iblis di otakku.

Pacar bukan, gebetan bukan, mantan apalagi. Iblis itu terus merisaukan pikiranku.

"Ya kali Bang, ngapain coba tanya Satria, bukan urusanku kali," ucapku.

"Masak?"

"Iyaa, masak air biar matang," sengolku.

Bang Doni tertawa keras karena berhasil menggodaku. Kurasa semua anak di sini memang tau semua. Semua maksudnya antara aku dan Satria. Hmmmm sudahlah.

"Bang, nyari bakso yuk," ajakku ke Bang Doni.

Kalau siang gini emang nggak ada makanan di basecamp. Kami hanya menjadwal 2x makan diwaktu pagi dan sore. Aku biasanya sama Rinai beli bakso atau mie ayam. Tapi siang ini aku belum melihat dia.

Kemana semua ini?

"Aku sholat duhur dulu habis itu berangkat," ucap Bang Doni.

Aku menunggunya sambil main ponsel, kebetulan aku sendiri sudah duhuran. Aku memang bukan lulusan pondok pesantren. Tapi untuk masalah sholat aku tetap Istiqomah. Bukan kah setiap umat islam wajib melaksanakan sholat?

Ya meskipun kadang sholatku sendiri masih bolong-bolong seperti stocking Ayu Ting-Ting saat masih Panturaan sih.

*

Aku terburu-buru bebersih tubuh, Rinai masih menungguku dengan makan pentol petir yang beli di depan Indomaret terdekat. Rinai sengaja tak membangunkan aku untuk mengajar di mushollah. Alhasil, pas bangun tidur aku seperti dikejar waktu.

Oh iya, sebelum berangkat mengajar. Aku biasanya beli pentol petir terlebih dahulu. Bukan apa-apa sih, hanya kebiasaan gitu. Pedasnya yang membuat mata menjadi nggak ngantuk. Penjualnya memang di kaki lima, tapi rasanya tak kalah lezat dengan yang di restoran mahal.

Bang Doni yang pertama kali mengenalkan aku dan Rinai pentol petir. Karena aku dan Rinai memang suka sekali sama yang pedas-pedas.

"Satria sama Farel ke mana Nai?" tanyaku sambil mencicipi pentol petirnya.

"Ush, kebiasaan," ucap Rinai yang memang nggak suka kalau makan diganggu, "udah berangkat duluan," lanjutnya.

Lihat selengkapnya