PARAPET

Tika Lestari
Chapter #16

Sate Kelinci

"Coba dulu Bi, pasti nanti ketagihan," Farel memberiku satu tusuk sate kelinci.

Aku sedari tadi nggak mood sekali buat ke sini. Hanya saja Dimas memaksaku untuk ikut. Sementara Nike juga hanya bisa mengikuti kemauan Dimas. Kalau Nike menolak pasti dia bingung pulang ke Madiun sama siapa.

Berada di kondisi saat ini sungguh membuatku tidak nyaman. Aku duduk di lesehan tepi Telaga Sarangan. Satu meja dengan Farel dan Nike. Sedangkan Dimas di meja sebelah bersama Rea, Satria dan beberapa temannya yang nggak aku kenal.

Dimas dan Farel saat di basecamp memaksaku untuk ikut jalan-jalan. Padahal aku sudah menolak ajakan mereka berdua. Aku hanya berharap jalan-jalanku berkesan. Misal pertama kali jalan-jalan harus bersama dengan yang spesial gitu. Misal pertama kali jalan-jalan harus berkesan di hati gitu. Tapi aku sadar kalau semua itu hanya mimpi. Mimpi yang tidak mungkin bisa kudapatkan dari yang kuinginkan.

Aku jadi ingat, kapan hari Aziz dan kawan-kawan mengajakku liburan di telaga sarangan ini. Namun aku menolaknya dengan alasan sungkan dengan anggota kelompok yang lain. Tapi sebenarnya bukan itu alasanku. Aku hanya ingin moment pertama itu bersama dengan orang yang spesial. Tapi apa yang aku dapat? Seseorang yang aku ingin justru sudah bersama yang lain.

Sungguh ekspektasi tak sesuai dengan realita.

Aku tadi menolak ajakan Dimas karena aku nggak ingin Satria beranggapan bahwa aku membuntutinya. Aku nggak mau Satria besar kepala. Lagi pula teringat dengan kebekuan di antara kami yang entah kapan dinding kebekuan itu terbangun. Aku sama sekali tidak menyadari.

Dari tadi Satria tak melihatku sama sekali. Aku merasa bahwa dia pura-pura tak mengenaliku. Dia sibuk berbicara sendiri dengan orang yang bahasannya tak aku mengerti.

Kalau seperti ini mendingan ke basecamp ajah walau harus tidur mulu. Dari pada merasa sepi di tengah keramaian. Merasa asing di tengah kebisingan. Dan merasa gundah di antara ketidakpedulian.

"Kamu mau foto?"

Farel lagi-lagi mengajakku bicara. Tapi aku sendiri sibuk dengan pikiranku. Farel pria yang baik, dan memang baik. Buktinya dari tadi dia mencoba mengalihkan pikiranku.

Aku menatap deretan sate kelinci di atas piring di depanku. Farel memesankan untukku sekaligus sepiring lontong untuk berdua. Andai yang bersikap manis ini Satria.

Lagi-lagi aku memikirkan Satria. Bahkan dia di area sini saja tak sedikitpun melihat keberadaan ku. Dia malah sibuk dengan bercandanya sendiri.

Entah kenapa melihat dia tersenyum karena orang lain hatiku merasa, hmmmm semacam tak suka.

Aku ingin senyumnya karena aku. Tapi aku sadar kalau dia tak menganggap keberadaanku.

*

"Aaaaaaaaaaa,"

Aku berteriak kencang dengan segala kekuatan. Aku mengekspresikan semua keluh kesal yang membuatku tak nyaman. Mencoba mengutarakan semua beban melalui teriakan. Aku tidak khawatir dianggap orang gila. Tidak khawatir juga ada yang memarahiku.

Justru aku normal karena berteriak kencang. Hingga tak terasa aku sedikit meneteskan air mata. Aku tak paham kenapa bisa selemah ini. Namun aku menyadari dan mengakui bahwa titik kelemahan perempuan saat ia berani bermain perasaan.

Farel, Dimas dan Nike memaksaku untuk ikut naik perahu. Namun aku menolak karena aku emang takut dengan air yang melimpah. Pasalnya aku memang nggak bisa renang. Kalau ada apa-apa aku nggak mau tenggelam.

Lihat selengkapnya