PARAPET

Tika Lestari
Chapter #17

Perlindungan Nyata

Sekitar 2 tahun yang lalu

Malam inaugurasi ospek kampus terlihat begitu ramai. Di akhir pelaksanaan ospek ini, sengaja para senior baik SC maupun OC berkumpul menjadi satu. Ada pula anggota BEM yang hanya mampir sebentar. Karena harus mengawal fakultas lainnya juga.

Aku yang kebetulan terlibat kepanitian tentu merasa disibukkan. Meskipun sebagian ada yang sibuk dengan main ponsel atau lainnya. Bahkan sebagian anak OC maupun SC sibuk mencari incaran Mahasiswa Baru.

Sudah bukan hal umum lagi kalau mereka pasti sok-sokan. Entah sok keren, sok pintar, atau sok tenar. Tapi memang seperti itu sih di kampus manapun. Di fakultasku, selain menampilkan kebolehan mahasiswa baru yang sudah selesai. Ada juga konser payung teduh.

Di aula fakultas sudah dipenuhi dengan mahasiswa baru yang sudah melepas atribut perlengkapan ospeknya. Selanjutnya bersama menikmati alunan musik yang romantis tersebut.

Aku berjalan ke area gajebo fakultas. Ada beberapa panitia yang juga mengamankan keadaan. Maksud keadaan di sini ialah tidak mau kecolongan apabila mahasiswa baru tersebut mengikuti organisasi sebelah.

Seperti ini lah dunia sesungguhnya. Di mana kekuasaan akan terus diperjuangkan dan direbut. Karena bagaimana pun perpolitikan tidak hanya terjadi di lingkup negara. Tapi lingkungan kampus juga tak kalah banyak.

Bukannya aku nggak punya teman, aku hanya ingin menyendiri. Lagipula aku juga tidak begitu suka dengan musik payung teduh. Justru aku ingin melihat inaugurasi di fakultas sebelah yang menampilkan OM Pesona.

Iya, aku lebih suka dangdut koplo jika berbicara tentang musik.

"Pulang Bi?"

Suara tak asing terdengar di area gajebo. Aku menoleh ke sumber suara, kemudian menoleh di samping kanan kiri ternyata memang hanya ada aku.

"Pulang bareng gimana?" tanyanya lagi.

Iya, Satria menyapaku. Dia masih terlihat cakep meski lingkar matanya menghitam. Mungkin karena kelelahan beberapa hari untuk acara ospek ini.

"Hmmm, gatau Sat, balik kos deh kayaknya," sahutku.

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 9 malam. Kalau pulang ke Sidoarjo pasti sudah nggak ada bus yang ke sana. Lagipula aku juga takut kalau malam-malam naik bus sendirian. "Kamu nginap lagi di kos Rendi?" tanyaku.

"Pulang deh malam ini, udah bosan di pondok dia," jawabnya

Aku tersenyum samar, aku tau. Tau banget Sat kalau kamu numpang di pondok Rendi.

Ini sapaan Satria ke sekian kali, hanya saja ini pembicaraan yang menurutku panjang. Pasalnya, semenjak Satria tau kalau aku sudah punya pacar, dia menjauh seakan tidak lagi mengenali aku.

Bahkan di hari pertama menjadi panitia ospek, aku tak bertegur sapa dengannya. Benar, sejak mengenalnya aku paham kalau ego kita sama-sama besar.

"Tapi aku juga malas pulang sendirian," ucap Satria lagi.

Kode kah buat aku? Tenang Sat, aku paham kok.

"Yaudah besok saja, toh ini sudah malam," ucapku lagi.

Aku sengaja berbicara begitu, mungkin memang aku harus bersikap biasa dengan Satria. Aku juga tidak mau terus berharap sama dia. Meskipun aku sendiri saat ini tidak punya pacar, tapi Satria tetap menjaga jarak denganku.

"Nggak ikut ke aula? Ada payung teduh loh," ucapku lagi.

Bagaimana pun juga aku tidak mau terlihat gagap di dekat Satria. Aku harus bisa bersikap wajar. Meskipun kenyataannya seseorang bisa berbalik 360 derajat saat di samping orang yang dia suka.

"Nggak Bi, malas ajah,"

Satria kemudian mengeluarkan ponselnya. Aku sendiri juga tak tertarik dengan sikapnya. Kalau semakin aku melihat Satria, aku takut perasaan ini terus ada.

Aku sendiri juga memainkan ponselku. Entah aplikasi di sosial media atau paling parah ya hanya lihat-lihat galeri. Yang penting aku tidak merasa garing.

Lihat selengkapnya