PARAPET

Tika Lestari
Chapter #18

Sakit Gigi

"Kamu udah baikan sama Raga?"

Pertanyaan Rinai membuat kantukku hilang seketika. Padahal dari tadi aku menguap terus menerus. Namun saat mendengar ada yang menyebut namanya kelopak mata seakan mengerti. Bahwa aku tak boleh melewatkan info tentangnya. Tentang Satria.

Aku sendiri sudah membiasakan diri untuk tidak menyapa Satria. Lagi pula dia juga yang tidak mempedulikan keadaanku saat ini sekarang.

"Ada bahasan yang lebih faedah nggak Nai?" Tanyaku berwibawa.

Rinai terdengar menghela napas. Di antara keremangan lampu yang padam ini mata Rinai berfokus melihat atap. "Lama-lama aku kasihan sama kalian berdua itu," lanjut Rinai. "Raga orangnya pendiam dan tidak mau mengungkapkan, sedangkan kamu sendiri juga perempuan, nggak mungkin kalau mengungkapkan duluan,"

"Aku nggak berharap Satria mengungkapkan sesuatu kok Nai, aku teramat sadar kalau pertemuan ini hanya sebatas pertemuan."

"Mungkin emang seperti itu Bi, tetap saja aku melihat kalian jadi gemas sendiri."

Aku tersenyum di antara kegetiran hatiku. Mencoba menerka kembali untuk apa aku dan dia dipertemukan. Lagi.

*

5 hari ini aku terbiasa tanpa Satria. Meskipun kami tinggal satu atap bersama-sama rekan yang lain. Tapi hanya aku yang jarang berkomunikasi dengan Satria. Benar yang Farel bilang, kami sama-sama ego.

Biasanya saat mengajar mengaji, aku boncengan dengan Satria. Sedangkan Farel dengan Rinai. Tapi 5 hari ini aku selalu sama Rinai. Di mushollah pun yang lebih banyak berkomunikasi dengan Satria itu Rinai. Hanya kami berdua memang yang tak banyak berkomunikasi. Aku tak paham apa sebabnya semua ini.

Sebenarnya aku juga teramat sakit hati. Jarak ini tak pernah kami tanam. Namun ia tumbuh liar seperti ilalang. Semakin dibiarkan semakin tak berperasaan. Namun bisa jadi tanpa sepengetahuanku, Satria diam-diam dengan sengaja memupuk jarak ini. Hingga semakin meluas mengelilingi hati kami.

Di basecamp juga demikian, kalau aku berada di ruang tamu, satria lebih memilih di teras. Kalau dia di ruang tamu, lalu aku juga ke ruang tamu, perlahan dia beralasan entah ke mana. Aku bukannya mengikuti Satria. Tapi aku juga perlu berkumpul dengan teman yang lain kan?

Setiap kali piket, aku juga tak bertegur sapa dengannya. Apalagi semenjak perpindahan jadwal, di mana aku tak lagi satu kelompok sama Satria. Dan hal itu membuat benteng menjulang tinggi di antara kami.

Perempuan itu bisa dikatakan menjemput petaka, manakala dia berani menyisihkan ruang hatinya pada pria yang tak peka.

"Kasian sama Rubi dan Satria, dua kali ada kesempatan malah tak dimanfaatkan."

Fitri berkata demikian karena tau masa lalu antara aku dan Satria. Fitri membandingkan dengan kedekatan Rinai dan juga Yudit. Karena mereka tak butuh waktu lama untuk mengetahui isi hati masing-masing.

"Udah deh Fit, malas bahas kayak gitu," aku menghela napas panjang.

Saat ini ada aku, Ochi, Fitri dan Rinai sedang berada di teras basecamp. Meskipun malam ini berasa dingin, tak membuat kami berempat segera masuk ke dalam basecamp. Toh di dalam juga anak-anak pada sibuk dengan gadgetnya. Mending di sini meskipun rumpi.

Oh iya, dinginnya sikap Satria saja aku betah, apalagi cuma sekedar dingin malam Kawedanan.

Setengah bulan tinggal di sini juga membuat teman yang lain paham dengan hubunganku dan Satria. Termasuk merenggangnya hubungan kami, semua paham. Sebagian dari mereka juga menyayangkan hubungan stagnan ini.

Aku bersandar di bahu Fitri. Rasanya kenyamanan kutemukan di sandaran tersebut. Apalagi aku sendiri sedang sakit gigi. Aku tegaskan sekali lagi, sakit gigi.

"Eh Satria?" panggil Fitri.

Aku menoleh sebentar, terlihat Satria di depan pintu. Sorot kedua manik mata itu, tepat menatapku. Rasanya menjalar hingga menembus hatiku, menggetarkan perasaanku. Aku dan Satria berpandangan, kedua mata kami bertemu. Namun, aku segera sadar dan memalingkan pandangan. Aku hanya menatap ubin yang berada di bawahku.

"Ngapain?" tanya Fitri lagi.

"Enggak kok," sahut Satria.

"Sini loh duduk."

Lihat selengkapnya