Sore hari yang menumbuhkan bunga di hatiku. Rasa yang terpaksa harus layu, mendadak tersiram dengan sapaan yang menyegarkan. Setelah kurang lebih satu Minggu Satria dan aku tak aku dibuat speechless dan bertanya-tanya. Percaya atau tidak, selepas mengajar di TPQ Satria mengajakku untuk ke sepeda yang dia kendarai.
Rinai yang memahami momen itu, tak banyak bicara langsung mengiyakan. Langka kakinya cepat menuju sepeda yang dikendarai Farel. Farel hanya senyum-senyum ke arahku, dalam hati mungkin hendak bersiul dengan ulah Satria.
Apa ini ulah Satria malah membuatku tersipu. Padahal dalam hati, ya momen seperti ini yang aku tunggu. Momen yang sudah membuatku terbiasa untuk dekat dengannya, tapi ada jeda selama seminggu.
Bedanya, aku sekarang nggak begitu berharap pada perlakuan Satria. Bukannya apa-apa, aku nggak mau semakin dirundung harapan tanpa kepastian. Karena aku menyadari dan merasakan bahwa berharap itu sia-sia.
Tapi entah kenapa aku masih tetap ingin berharap. Dan itu pada Satria yang kapan bisa peka dengan hatiku. Meskipun aku nggak begitu berharap, faktanya harapanku sangat tinggi dengannya. Namun aku mencoba mematikan rasa ini, karena tak mau tersiksa lagi.
Bak puteri Solo berjalan lemah gemulai, aku menuju sepeda, Satria sudah menunggu. Hatiku berdebar seperti saat pertama mengenalnya. Untuk kesekian kalinya, pada orang yang sama.
"Apa kabar?" sebuah pertanyaan muncul dari arah depan.
"Eh," aku agak kaget mendengarnya. Apa iya barusan suara Satria? Kok aku takut kalau itu suara arwah para pejuang yang masih nyangkut di monumen Rejosari. Tapi nggak mungkin lah, "maksudnya Sat?" tanyaku lagi.
Satria diam sebentar, lalu membenarkan kaca spion sepeda. Finally, akhirnya dia bisa melihatku melalui kaca spion. Kedua manik mata itu lagi yang aku lihat.
"Maaf ya Bi," ucapnya lagi.
"Udah nggak perlu dibahas."
Aku tak begitu suka jika membahas perasaan tapi kondisi yang membuatku tak nyaman seperti ini. Kalau mau bahas serius ya mendingan duduk berhadapan. Lihat saat bicara, karena dari sikap seperti itu aku bisa mengetahui tulus tidaknya ucapan itu.
Di jalan masa iya bahas perasaan. Nggak banget lah, pengecualian kalau Satria mau ngajak ke mana gitu.
"Mampir Indomaret dulu ya Bi," ucap Satria lagi.
Duh, dia paling peka kalau masalah gini ya, tapi kapan kamu peka dengan hatiku?
"Belum ganti ini," balasku.
"Nggak perlu, orang dekat kok, nggak lama juga."
Oh iya ya, berharap bisa jalan bareng Satria lebih jauh dan lama? Mimpi ah si Rubi ini. Jelas-jelas itu mustahil.
Sungguh ekspektasi tak sesuai dengan realita.
Suara dari isi hati bersahutan di atas pikiranku.
*
"Cieeee."
"Hak e hak e."
"Ihiiirrr, ayeeee."
"Bakal ada yang CLBK nih."
"Yang belom kelar, belom kelar segera dikelarin."
"Bakal ada PJ nih."
"Hokya hokya."