"Nanti berjuang lagi," lanjut Satria serius.
Aku menyamarkan pandangku, tidak lagi melihatnya. Sedangkan tangan Satria masih memegang pergelangan tanganku.
"Kenapa diam?" Satria lagi-lagi berisik.
"Eh," aku jadi salah tingkah ditatap seperti ini.
"Kenapa diam?" Tanya Satria lagi, "baper ya?" lanjut Satria.
Ya jelas, aku menahan ucapan itu, "nggak."
"Masak?" Satria masih menggodaku.
Menurut L, "ish apaan sih, enggak lah," aku menepis tangan Satria.
Dia hanya tersenyum saat tangannya terlepas. Aku mengalihkan pandanganku untuk tidak melihatnya. Biar saja aku mencari view lain untuk kulihat.
Aku kembali memfokuskan perasaanku. Ini Satria lagi kesambet apa?
Aku melanjutkan lariku menyusul Rinai yang sudah mendahului posisi kami. Aku nggak peduli Satria mengejarku apa enggak. Yang pasti aku tidak ingin terlihat salah tingkah di hadapan Satria. Padahal aku sendiri menyadari kalau Satria pasti tahu kalau aku salah tingkah.
Entahlah, aku malu. Malu karena salah tingkah.
*
Usai mengajar ngaji di mushollah, kami tidak langsung balik ke basecamp. Banyak hal yang perlu kami bahas dengan pengurus mushollah. Kami berempat yaitu aku, Rinai, Satria dan Farel berencana memberikan kenang-kenangan sebelum kami kembali ke Surabaya.
Kami berencana memberikan peralatan terbangan atau rebana. Hal itu sudah kami bahas sebelumnya di basecamp sekaligus sudah titip Ochi yang kemarin siang balik ke Surabaya. Ochi izin karena ada acara di rumah suaminya itu. Dia juga nggak keberatan kalau datang ke Ampel untuk membelikan peralatan yang kami pesan.
Setelah rembukan dengan pengurus mushollah. Kami langsung ke teras untuk selanjutnya kembali ke basecamp. Di pelataran mushollah masih banyak anak yang mengaji tadi. Biasalah, mereka caper kepada kami. Hihihi
Lagi-lagi aku dibonceng Satria, dan aku bahagia. Rinai dan Farel sudah duluan balik. Sedangkan Satria sepertinya sengaja memelankan laju motornya. Kami berdua juga saling sapa dengan penduduk sekitar. Bagaimana pun juga kami harus bersikap ramah bukan?
Tiba di depan sekolah dasar Rejosari tepatnya di depan monumen Rejosari. Aku berusaha mengajak ngobrol Satria. Supaya nggak terlalu canggung lah kami ini.
"Sat," panggilku.
Dia menyahuti pelan, "iya."
"Kamu nggak pengen ngajak jalan gitu?" tanyaku.
Oke, mungkin kedengarannya aku ngebet pengen diajak jalan.
Emang! Dan kalau iya kenapa?
"Jalan ke mana?"
"Ya kemana gitu," ucapku. Satria dan ketidakpekaan dirinya, aku harus selalu ingat itu. Dan aku tidak akan menyerah untuk menerima hal ini.
"Ke mana ya?" Ucapnya yang sangat jengkel untuk kudengarkan, "ngajak jalan siapa juga sih?" Tanya lagi.
Aku menghela napas panjang. Mungkin Satria juga mendengarnya.
"Nggak tau deh Sat, males ngobrol sama kamu," ucapku.