"Aku minta maaf Sat, maafin aku," ucapku terbata-bata.
"Iya Bi, sudah ya jangan nangis gini," Satria mencoba menenangkan aku. Tapi aku tetap saja menangis tanpa sebab. Aku hanya ingin nangis saja saat ini. Membiarkan perasaanku lega dengan air mata yang beberapa hari ini mencoba aku tahan.
Aku terus berusaha menenangkan hatiku sendiri. Aku juga tak berharap Satria memelukku seperti yang dilakukan tokoh novel yang sering aku baca. Plis, berpelukan di tempat umum itu hanya pantas dilakukan saat syuting dan di cerita fiksi.
Beberapa kali aku mencoba menghirup udara dan mengeluarkan perlahan. Dan itu membuatku sedikit tenang.
"Maafin salahku yang dulu ya Sat, aku pasti sering banget buat kamu terluka," ucapku jujur.
Satria hanya mengangguk dan mencoba tersenyum. Entah kenapa melihatnya seperti itu aku jadi merasa bersalah.
"Ngomong dong Sat, jangan diam gini," ucapku tetap berusaha tegar, "aku semakin merasa bersalah sama kamu," lanjutku.
Satria melemparkan pandangannya ke arah lain dan sengaja menghindari kontak mata denganku. Aku bersyukur karena itu, jika Satria yang melihatku, sudah otomatis aku yang mengalihkan pandanganku. Karena aku paling tak bisa jika kontak mata dengan Satria ini.
"Jujur ya Bi," ucap Satria melihatku, aku berusaha tak menghindari tatapan itu. Menurut orang, apabila berbicara dengan lawan hendaknya saling dilihat agar tau berbohong tidaknya lawan bicara kita tersebut.
Satria kembali menghela napas, "kalau ditanya kecewa, iya aku kecewa banget sama kamu, kecewa banget Bi."
Aku menahan diri, semampuku berusaha mendengarkan Satria.
"Saat kamu udah punya pacar, tapi kenapa saat aku deketin kamu, seakan-akan kamu ngasih harapan ke aku," ucap Satria.
"Maafin aku Sat," mohonku.
"Saat aku tahu kenyataan itu, seketika aku ingin marah Bi, ingin marah sama kamu, tapi entah kenapa aku nggak bisa marah," jelas Satria
"Seharusnya kamu nggak ngasih aku harapan Bi, seharusnya kamu jujur dari awal bagaimana posisiku seharusnya," Satria terus berkata.
"Dan saat kamu putus dengan pacarmu, aku merasa bahwa semua itu gara-gara aku," ada rasa penyesalan dalam benak Satria
"Enggak Sat, sama sekali bukan gara-gara kamu," ucapku memotong pembicaraannya.
"Dengerin dulu Bi," ucap Satria dan membuat aku terdiam, "kamu nggak tau posisi seorang cowok harus bagaimana saat itu," lanjut Satria.
"Tapi emang bukan karena kamu Sat, aku putus karena sudah nggak ada kecocokan, 2 bulan aku nggak komunikasi dengan dia," ucapku menjelaskan.
"Oh, jadi kamu melampiaskan kehadiranku ya Bi, cerdas kamu," ucap Satria terdengar sakratis di telingaku.
Aku nggak nyangka kalau Satria akan bilang seperti itu. Entah kenapa saat mendengar Satria dengan suara demikian membuatku menjadi terluka.
Satria hanya tersenyum saat aku tak mampu menjawab pembicaraannya, "sudahlah, sudah beberapa tahun lalu juga," sahutnya.
Aku melihat ada kekecewaan di sudut mata Satria itu. Aku paham jika dia sedang menahan emosinya, tapi tetap saja seorang Satria mampu menyembunyikan perasaannya.
"Lalu, kenapa kamu nggak mencoba mendekati aku Sat, bahkan saat kau sudah tau aku tanpa kekasih?" tanyaku.