PARAPET

Tika Lestari
Chapter #27

Setidaknya

Aku menghela napas saat pertanyaan itu muncul dari Satria. Dulu pernah menerka, manakala pertanyaan seperti ini muncul, aku harus sudah siap sebuah jawaban. Sebenarnya aku ingin menyembunyikan rasa ini. Akan tetapi aku mengingat, bahwa kesakitan hati akan bertambah kalau kita berspekulasi sendiri. Kesempatan datang untuk yang kedua kali, bukan kah sudah saatnya aku harus memberi pengakuan jujur?

"Aku nyaman sama kamu Sat, aku nggak punya alasan untuk tak nyaman sejak kenal kamu," ucapku.

"Jujur saja aku merasa bersalah sama kamu, bersalah banget karena sudah menyakiti hati kamu," ucapku melanjutkan.

Satria tersenyum tipis, aku merasa dia memaklumi tentang masa lalu yang melibatkan kami. Aku juga menjelaskan bahwa dipertemuan kedua ini, aku berharap ada perubahan dengan kedekatan ini.

Bagaimanapun Satria merupakan bagian dari masa lalu terindahku. Aku yakin sekali kalau Satria memang diciptakan untukku. Entah itu hanya ilusi diriku saja, atau ia bahkan diam-diam turut mendamba. Terlepas prasangka itu semua, yang pasti aku mengharapkan tentang kedekatan ini berakhir lebih indah.

"Kamu ngerasa nggak Sat kalau aku masih berharap sama kamu?" pertanyaan konyol yang lolos dari bibirku.

"Hanya orang yang nggak peka, yang nggak paham dengan kamu Bi," jelas Satria.

"Tapi kenapa kamu nggak merespon ku Sat?" aku terus memberondong dengan pertanyaan.

"Karena aku nggak mau semakin menyakiti kamu Bi, aku juga belum siap buat merajut hubungan dengan siapa-siapa," jelas Satria.

"Kalau kamu deketin aku, aku juga nggak bakal minta langsung dilamar kan Sat?" aku semakin berbicara tanpa sungkan. Kulihat Satria juga biasa saja menanggapi perkataanku. Tidak kaget, tidak heran, tidak menganggap aku rendah, tapi datar-datar saja.

"Ya dari pada kamu menunggu Bi, anggap saja aku khilaf sudah pernah mendekati kamu," ucap Satria enteng.

"Tapi aku nggak pernah khilaf karena sudah pernah nyaman dengan kamu."

"Alhamdulillah."

Bongkahan batu es seakan meleleh di hatiku. Entah kenapa saling berucap jujur seperti ini membuat diriku menjadi enteng. Terutama hatiku yang sudah berkurang bebannya. Sepertinya hari ini kilas balik penjelasan beberapa tahun yang lalu. Di mana kita sama-sama memutuskan saling menyudahi, bahkan hal yang belum pernah kita mulai.

Meskipun pada akhirnya aku tidak jadian dengan Satria saat ini. Aku juga nggak pernah memaksa hati Satria akan dilabuhkan pada atau untuk siapa saat ini. Karena Satria yang menyakinkan aku bahwa aku tidak boleh berharap secara terlalu selain kepadaNya.

Meskipun aku berharap sekali ada kedekatan khusus untuk hubungan ini.

"Balik yuk Bi, tapi kita asharan dulu ya," lebih ke pernyataan untuk tak memberiku jawaban lain.

Ucapan Satria menghipnotisku, pasalnya aku nggak bisa membedakan ini pertanyaan atau pernyataan. Tapi yang jelas, Satria sangat membuatku memahami bahwa kehidupan tidak selalu seperti yang kita mau.

Ini nyata, dan keikhlasan itu harus senantiasa ada disetiap hati kita. Termasuk mengikhlaskan hati seseorang sekalipun.

"Pakai uang ini dulu ya Sat?" ucapku sambil memberikan selembar uang seratus ribu.

"Nggak usah, pakai uangku aja Bi," ucap Satria.

"Tapi aku nggak enak Sat, kan tanggungan jadi kamu saja."

"Aku saja Rubi, aku ini pria," jelas Satria.

"Emang sejak kapan kamu berubah jadi waria Sat?"

Lihat selengkapnya