PARAPET

Tika Lestari
Chapter #32

Hati yang Pilu

Sekarang Satria masih saja tidak melepaskan tangannya dipundakku. Dia terus mengajak foto meskipun aku selalu saja memasang muka malas. Namun, hal itu justru membuat Satria semakin menggodaku.

Aku sudah terlanjur badmood dengan Satria yang baru mengingatku. Aku merasa seperti tambal butuh saja saat Rea mengejar Fernando.

Aku tidaklah tau apa maksud dari Satria bersikap seperti ini. Lebih-lebih lagi saat dia kembali menyadarkan aku bahwa aku tidak boleh berharap dengan dirinya. Melihat sikapnya yang seperti ini justru semakin membuat berharap.

Ini Satria memang lulusan pondok pesantren, tapi dia bersikap seolah bukan dari kalangan orang alim. Dulu Satria pernah bilang, kalau dia juga manusia biasa yang punya khilaf. Tapi kembali lagi bahwa segala sesuatu juga tergantung diri sendiri. Satria beranggapan kalau foto bareng sambil merangkul pundak itu wajar.

Mungkin wajar karena sama sekali nggak memakai rasa. Rasa cinta yang justru kurasakan, tidak dengan Satria. Makanya dia beranggapan wajar saja.

Dia juga pernah berkata kalau dia bukan sealim-alimnya pria. Aku sih juga merasa sekali kalau aku bukan sealim-alimnya wanita. Aku tidaklah munafik kalau dengan Satria aku merasa nyaman. Dibilang cewek murahan ya biarin, menurutku masih tahap wajar sih yang kami lakukan.

"Kenapa aku nggak boleh baper?" tanyaku sambil melihat kedua bola matanya.

Satria tidak melihatku, tapi perlahan dia agak melepas tangannya di atas pundakku, dan aku nggak suka.

"Nggak apa, nanti sakit hati saja kamu," ucap Satria menjelaskan.

"Kalau kamu sakit hati nggak?" tanyaku.

Kulihat Satria diam dan bahkan seraya mengangkat bahu, "kapan sih Sat kamu bisa suka sama aku?" tanyaku lagi.

"Semua ada masanya Rubi, mungkin untuk sekarang memang bukan saatnya," jelas Satria.

"Lalu kenapa kamu seakan ngasih aku harapan Sat?" tanyaku.

"Aku harus berapa kali bilang kalau kamu jangan berharap, apalagi sama aku," jelasnya.

"Iya," aku hanya menjawabnya dengan biasa.

Percuma juga menjelaskan panjang lebar sama Satria. Ujung-ujungnya dia tetap saja nggak peka. Hanya aku di sini yang memang menikmati kedekatan ini, sedangkan dia tidak sama sekali.

"Selagi kita masih di sini, kita nikmati saja kedekatan ini," ucapnya parau.

Aku kembali melihat Satria, kali ini dia melepaskan pelukannya. Tapi justru dia semakin intens menatapku. Aku semakin salah tingkah dibuat Satria.

Aku sengaja menghindari tatapan itu, bagaimanapun juga pertahanan hati itu perlu.

Kenapa aku jadi seperti kerupuk 17an yaa, selalu digantungin.

"Kalau aku baper sama kamu gimana?" Tanyaku lagi.

"Sama," ucap Satria.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Ya berarti sama, aku juga baper sama kamu."

Lidahku keluh, aku sendiri bingung mau menanggapi seperti apa.

"Kalau aku nggak ikutan baper, aku nggak mungkin deketin kamu Rubi," ucap Satria.

"Lalu maksudnya apa Sat?" tanyaku.

Lihat selengkapnya