PARAPET

Tika Lestari
Chapter #33

Jantung Jumpalitan

Aku masih diam menunduk. Air mataku sudah jatuh kemudian mengalir di antara kedua pipiku. Aku merasa tertampar dengan ucapan Fitri.

"Rubi juga kenapa sih genit mulu sama Satria?" kali ini Farel bersuara.

Aku memandangnya dengan tatapan nggak percaya. Mana mungkin ucapan seperti itu datang dari mulut seorang Farel? Farel yang aku tahu bahkan mendukung hubunganku dengan Satria.

"Nggak setiap hari juga kan harus sama Satria?" lanjutnya lagi.

"Iya aku minta maaf," ucapku dengan suara bergetar.

Hanya itu yang bisa aku utarakan. Rasanya terlalu pusing kalau aku mendengar umpatan mereka semua. Bahkan Rinai yang aku anggap saudara juga tak membelaku.

Memang di forum telanjang rasa ini harus jujur. Bukannya aku nggak menerima kritikan, tapi aku nggak nyangka kalau ucapan mereka yang sekarang menuju di aku. Bukan kritikan ini namanya, tapi lebih ke bullying. Seumur hidup, baru ini aku merasakan dibully itu kayak gimana.

"Sudah-sudah, Fitri dan Farel kamu berhenti bicara," Yudit kali ini menengahi.

"Eh namanya telanjang rasa ya terserah," Fitri bersuara.

"Tapi jangan gitu Fit, kamu terlalu bicaranya."

"Sudah, biarkan Fitri bicara, kalian semua juga silakan kalau mau bicara tentang aku, aku akan nerima kritikan dari kalian semua kok," ucapku menjelaskan.

Aku memang harus menerima konsekuensinya, biar saja mereka jujur tentang diriku. Bukankan setiap orang bisa lebih baik saat sudah menerima kritikan?

Dan aku harus siap menerima dari ucapakan siapa kritik untuk diriku itu terucap. Termasuk Satria juga.

"Seharusnya kan kaamm," ucapan Fitri entah kenapa kok tiba-tiba berhenti.

Aku menoleh ke samping, di sendiri juga menunduk, apa dia menangis juga karena jengkel sama aku?

Aku melihat pundaknya bergetar. Apa mungkin Fitri benar-benar menangis?

"Loh Fit, kamu kenapa menangis?" tanyaku.

Fitri nggak merespon pertanyaanku. Dia justru semakin menunduk dan bergetar pundaknya. Aku mencoba memberanikan diri menyentuh pundaknya. Tapi hal itu membuat Fitri semakin bergetar.

"Fit, maafin aku, maaf kalau buat kamu jengkel," aku berkata jujur, tapi Fitri semakin bergetar, "jangan nangis gini dong Fit," aku semakin panik.

Fitri menggerakkan kepalanya ke atas, kulihat memang disekitar matanya berair. Tapi aku nggak tau apa yang menyebabkan hal itu.

Fitri menyeka air matanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah agak tenang aku kembali menanti ucapan Fitri tentang diriku.

"Kalau mau bilang tentang aku, lanjutkan saja Fit."

Aku mencoba berlapang dada, meskipun harus kujumpai lara.

"Nggak deh, aku takut," ucap Fitri, "lihat tatapan Satria itu, seakan mau menghempaskan aku ke air terjun," lanjutnya lagi.

Aku mengikuti pengelihatan Fitri untuk menatap Satria. Justru dia terlihat santai bahkan tersenyum. Aku nggak paham maksudnya apa.

"Happy birthday Rubi!!!!!!"

Ucapan Rinai menggelora sambil membawa cupcake yang aku sendiri bahkan nggak tau dapat dari mana. Aku bergantian melihat mereka semua. Bahkan mereka juga menertawai aku disaat bersamaan.

"Jadi?" aku langsung melihat Fitri.

"Iya, bahuku bergetar bukan karena nangis, tapi menahan tawa bahkan sampai mengeluarkan air mata."

"Aahkkkhhh kaliaaannnnnnn," ucapku tanpa bisa menghentikan air mata yang mengalir.

Tapi air mata ini mewakili kebahagiaan.

"Tiup lilin dulu ya beb, maafkan aku yang nggak bantu," ucap Rinai sambil membawa kue di hadapanku.

"Sebenarnya kurang seru, Rubi harus dikerjain lebih heboh kan?" ucap Farel.

Kemudian diiring tawa teman yang lainnya. Aku melihat Satria, dia tersenyum dan menunjukkan raut muka permohonan maaf.

Aku juga tersenyum kepadanya, tapi senggolan bahu Fitri membuatku tersadar, "buruan ditiup keburu abis lilinnya," ucap Fitri.

Aku langsung berdoa untuk bertambahnya usia ini, beberapa doa yang aku panjatkan tanpa mereka tahu. Hanya aku dan penciptaku yang tau. Suara aplous dari teman-teman langsung menggema saat lilin tersebut sudah padam. Beberapa teman lain menyalamiku dan memberikan ucapan.

"Yang aku minta maaf soal Deket sama Satria itu tulus loh Bi," kali ini Rea berbicara.

Aku menanggapi dengan senyuman, entah kenapa perasaan jengkelku sama Rea menjadi berkurang. Ternyata memang kekeluargaan di antara kelompok ini sangatlah dekat. Tapi tetap saja sih, ngapain bahas hal ini lagi.

Rea, Fitri, Rinai dan teman yang lain memelukku dengan memberikan ucapakan selamat, "btw, ide jahil siapa sih ini?" Tanyaku pada mereka.

"Hahahaha, rahasia," ucap Rinai menertawai ku.

"Ish, nggak seru deh," ucapku.

"Ini itu ide Yudit yang ngerjain kamu," Farel bersuara, oh bukan Satria ya? Duh siapa sih aku sampai Satria ingat hari ulang tahunku? Jangan mimpi dong Bi!

"Satria yang ngasih tahu kalau kamu hari ini ulang tahun," lanjut Farel.

Lihat selengkapnya