PARAPET

Tika Lestari
Chapter #34

Satu Pot Bunga Edelweiss

Sampai di telaga sarangan, kami langsung pencar sendiri-sendiri. Satria saat ini berjalan mengikuti aku dan Fitri. Kami berencana naik perahu. Tapi aku sudah pernah naik, jadi nggak pengen naik lagi. Begitu juga Satria, pernah naik perahu dan tidak ingin mengulangi. Sementara Fitri, kalau nggak ada teman ya nggak bakal naik perahu.

Alhasil, kami hanya berfoto di spot berbentuk wayang yang bertuliskan telaga sarangan. Lebih tepatnya icon telaga sarangan. Kami berlama-lama di sana.

Bahkan kami juga bertemu dengan beberapa teman dari kelompok lain. Rupanya rekreasi merupakan agenda wajib sebelum balik ke Surabaya.

Banyak anak dari fakultasku yang satu jurusan dengan Satria. Dia menyapa kami dan bertanya perihal hubungan kami. Aku hanya bisa tersenyum biasa karena aku memang nggak tau harus merespon seperti apa.

Begitu juga dengan Satria yang hanya menganggap obrolan kami ini biasa saja. Tapi mereka beranggapan aku dan Satria berpacaran, aku jadi mengharap yang iya-iya saja kan.

Usai berfoto, kami memutuskan mencari makanan karena lapar. Kami memilih makan sate kelinci lagi. Hanya saja kami makannya di pinggir jalan, penjualnya memakai gerobak gitu.

Aku duduk dengan Satria, selain itu ada Fitri, Bang Doni, dan juga Dirga. Rinai dan Yudit nanti katanya menyusul.

"Satenya masing-masing berapa?" Tanya Satria yang memesan.

"Fitri minta beli 50rb katanya," sahut Dirga yang kemudian dibalas dengan Fitri pukulan bahu.

"Gila aja kamu, separuhnya ajah," ucap Fitri.

Satria tidak perlu tanya sama aku, karena aku akan jawab kalau pesananku sama seperti punya dia. Dan Satria sudah tahu itu.

Fitri memang paling besar badanya di antara kami yang para perempuan. Tapi itu anak tetap cantik, manis juga kalau tersenyum. Punya mata yang belo serta hidung yang sudah kayak prosotan anak TK. Selain itu ginsul digiginya juga menambah kemanisan dia.

Tapi setiap manusia tentu memiliki kekurangan. Aku tak menganggap Fitri itu gendut, tau dong kalau perempuan itu sangat benci dibilang gendut. Fitri itu sudah cantik dengan porsinya, badanya itu berisi. Ya berisi, sesuailah dengan porsinya. Perihal suara? Jangan diragukan, udah mirip banget sama Evi Tamala.

"Awas kamu kalau minta!" peringatan Fitri yang hanya dibalas tawa oleh Dirga.

"Eh, nanti beli oleh-oleh apa ya Fit enaknya?" tanyaku pada Fitri, karena dia juga memerlukan sepertinya.

"Iya Bi, aku juga pengen ngasih oleh-oleh," ucap Fitri.

"Aku tidak minta oleh-oleh emas permata dan juga uang," Bang Doni menyanyikan lagu dengan gaya alaynya.

Sontak tawaku jadi berhamburan. Lagi pula dia berlagak seperti separuh pria.

"Bawaan KKN juga udah banyak Fit, duh gimana ya bawanya?" Ribetku.

"Kalau beli jajanan juga udah banyak di rumah, terus kalau baju juga gini-gini aja," ucap Fitri.

"Kalau cewek emang ribet ya?" ucap Dirga, "wajib gitu ya bawa oleh-oleh?"

"Iya lah kan cewek itu pengertian, perhatian buat yang ada di rumah sana," ucap Fitri.

"Betul itu," sahutku.

"Sudah-sudah, makan dulu ini," Satria menyahuti saat penjual sate sudah memberikan pesanannya.

*

Bus yang kamu tumpangi sudah melaju dengan perlahan. Roda itu berputar meninggalkan kawasan telaga sarangan.

Jika ditarget sebelum Maghrib sudah sampai basecamp, ternyata target tersebut berbalik. Banyak anak-anak terutama yang molor karena masih ingin berwisata di sana. Tentu warga juga memakluminya.

Banyak momen keseruan yang terjadi seharian ini. Termasuk momen yang menurutku sangat istimewa. Bagaimana tidak? Aku bisa seharian sama Satria terus. Dan aku suka.

Ingatanku kembali pada beberapa jam lalu. Saat di mana berbelanja oleh-oleh dan Satria dengan sangat manis seakan melindungiku. Menemani aku beli sesuatu meskipun ada anak yang lain juga.

Tapi ada salah satu momen yang tidak mungkin aku lupakan. Saat hampir mau ke area bus. Kami melihat kerumunan penjual bunga edelweiss.

"Eh itu rame, ke sana yuk!" bukan ajakan Satria, tapi perintah Satria, dia langsung menggandeng tanganku.

Lihat selengkapnya