4 Februari 2020.
Kereta Api Malabar yang kutumpangi melaju. Melarikan semua penumpangnya menuju stasiun-stasiun tujuan. Meninggalkan stasiun Pasar Senen, Jakarta. Untukku sendiri, telah kutinggalkan sebuah kuburan yang membuatku datang ke Ibu Kota itu. Sedangkan kampung halamanku, Riau yang berada di pulau Sumatera, tentu semakin jauh di belakang.
Kereta masih sepi. Bahkan di kelas bisnis yang kutempati ini hanya berisi beberapa orang. Aku masih duduk sendirian. Kursi di sebelahku kosong. Sekosong hatiku.
“Maaf, ini kursi saya.” Seorang laki-laki sudah berdiri di depanku.
Baru kusadari bahwa kereta telah berhenti lagi di sebuah stasiun. Menaik-turunkan penumpang. Dari suara kaset pemandu kereta, kudapatkan informasi bahwa sekarang kami berada di stasiun kota Bandung.
“Ii … iya,” jawabku sedikit gugup.
“Maaf, maksud saya, tas ini tolong diambil. Ini kursi saya,” katanya lagi dengan sopan.
Aku gelagapan mengambil tas kecil yang kuletakkan di atas kursi miliknya.
“Maaf.” Tentu saja ini salahku, memakai dua kursi sesuka hati.
“Tidak masalah,” ujarnya tersenyum.
Dia lalu duduk di kursi itu. Tidak lama kemudian berdiri lagi. Menggapai tas miliknya yang sudah dia amankan di rak atas. Rupanya ia mengambil sebuah buku. Setelah itu kembali duduk dan tenggelam dalam bacaannya. Aku pun tidak peduli. Kembali kulanjutkan aktivitasku memandang sebuah foto. Foto laki-laki di sebuah buku kecil yang dibuat khusus untuknya, untuk almarhum. Buku itu berisi surah Yasin, tahlil dan do’a-do’a.
Teringat lagi kuburan di Ibu Kota itu. Air mataku jatuh. Awalnya sungkan dan malu-malu. Lama-lama melulu. Setetes, dua tetes lalu menjelma hujan. Aku menangis dan tentu saja tanpa raungan.
Setiap mengingat nama itu hatiku basah, ada gerimis di sana.
“Semoga diterima di sisi Allah.” Sebuah suara mengagetkanku.
Aku menoleh. Laki-laki tadi tersenyum ramah.
Sebenarnya aku tidak suka ada yang menyibuk dengan urusanku. Tapi demi mendengar do’a yang baik, aku berusaha tersenyum dan menjawab dengan jawaban yang baik, “Amin.”
“Pasti dia orang yang sangat baik.”
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Kulempar pandanganku ke luar jendela. Menghindari pembicaraan lebih lanjut dan sepertinya dia mengerti itu. Syukurlah.
Setelah sunyi kembali hadir diantara kami, aku iseng melirik wajahnya. Oh Mama, kalau saja hati anakmu baik-baik saja, mungkin aku sudah jatuh cinta sekarang.
Wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Hampir tiga menit aku bergulat dengan memoriku. Akhirnya kutemukan apa yang kucari. Dia mengingatkanku pada foto Amir Khan di masa mudanya. Alis yang subur. Mata yang bulat. Hidung yang mancung. Kulit sawo matang. Dia sedikit mirip dengan artis bolywood itu.
Segera kusadarkan diriku. Malu sendiri melakukan hal yang tidak etis dan tidak sopan. Aku juga sadar bahwa yang akan kulakukan hanya sejauh ini. Aku tidak akan mengobrol dengannya.
***
Tengah malam pukul 03:00 aku terbangun. Tetap dengan kesadaran penuh bahwa aku berada di kereta yang melaju. Aku cukup terkejut dengan laki-laki di sampingku, pada jam segini dia terlihat masih menikmati sebuah buku.
Rupanya aku terbangun karena getaran gawai. Emak memanggil.
“Assalamu’alaikum Mak. Iya?”
Kudengar Emak membalas salam. Menanyakan keadaanku lagi pastinya.
“Sehat Mak, idaklah mabuk. Naik kereta dak sama naik mobil.” Riang aku bercerita pada Emak. Meyakinkan bawa aku tidak mabuk, tidak seperti katika aku naik mobil. Mungkin karena aku duduk di kelas bisnis. Ini atas saran Emak agar aku nyaman.
“Dak payalah khawatir.” Aku berbicara pada Emak dengan bahasa Indonesia tapi aksen Melayu Jambi, tempat merantauku empat tahun terakhir.
“Mak, kan kita lah pernah bahas. Naik ojek online mahal. Nanti pandai-pandailah saya mau naik apa ke sana.”
Setelah pembicaraan berakhir. Aku menghembuskan nafas berat. Bisa dibilang ini perjalanan nekat. Keluargaku tidak terlalu mendukung karena beberapa alasan serta mengajukan dua persyaratan. Dua persyaratan yang tidak bisa kupenuhi. Yang kuberikan hanya janji, yang juga mungkin tidak bisa kutepati.
Persyaratan pertama, aku harus pergi bersama seorang teman. Karena ini pertama kalinya aku melakukan perjalanan jauh, keluar pulau Sumatera. Naik pesawat, naik ketera api, ke kota besar, semuanya pengalaman pertama bagiku dan ibuku melebih-lebihkan hal ini. Sedangkan syarat kedua adalah aku harus menjamin bisa membiayai diriku sendiri selama diperantauan. Bukan karena orang tuaku pelit. Tapi tuntutan ekonomi memaksaku untuk mandiri. Aku menyelesaikan sarjanaku dengan beasiswa miskin di kota Jambi. Sambil kuliah aku juga bekerja demi menabung. Hasil menabungku itu yang kugunakan sekarang dan sepertinya tidak akan cukup. Sedangkan janjiku adalah mengusahakan dapat beasiswa di daerah tujuanku nanti.
Tidak terasa sinar matahari menerobos kaca jendela. Alam mulai terang. Sebentar lagi kami tiba di stasiun Kediri. Beberapa penumpang bersiap turun. Demikian juga aku dan laki-laki itu.
“Biar kubantu.” Dia menawarkan bantuan ketika melihatku kewalahan menurunkan koper dari atas.
Aku tersenyum kecil. “Terimakasih.”
Dia balas tersenyum, “Sama-sama, ini.” Sembari menyodorkan koperku.
“Turun di Kediri juga?” tanyaku.
Ini termasuk hal langka. Tersenyum, bertanya dan berbasa-basi dengan laki-laki. Makhluk yang kebanyakan dari mereka kuhindari.
“Iya, kamu mau ke pesantren?” tanyanya yang kujawab gelengengan kepala.
Kedua kalinya aku menggeleng untuk pertanyaan yang sama. Semasa di stasiun Pasar Senin, seorang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu sebelahku juga berbasa-basi seperti itu. Wajar saja karena aku pernah membaca artikel bahwa Kediri cukup dikenal memiliki banyak pesantren. Meski tidak yakin ada hubungannya dengan penampilanku yang memakai gamis dan kerudung hitam. Pakaian berkabungku dari kuburan.
“Ke Kampung Inggris,” jawabku.
“Wah sama, saya juga ke Kampung Inggris. Ayok turun!”
Saat itu kereta sudah berhenti sempurna. Aku berjalan turun ke stasiun Kediri.
Stasiun Kediri bukanlah stasiun yang terlalu ramai tapi tidak bisa juga dikatakan sepi. Sepagi ini beberapa penyedia jasa travel sudah memadati teras stasiun. Menawarkan jasa.
“Kampung Inggris?” Seorang laki-laki menawarkan jasa padaku.