Seseorang pernah mengatakan bahwa Kampung Inggris adalah reinkarnasi dari Yogyakarta. Aku tidak pernah melihat Yogyakarta. Tapi cukup percaya dengan anggapan ini. Bukan sekedar mengekor. Tapi menurut pengalaman membacaku yang tidak seberapa berpengalaman, aku tahu beberapa hal tentang kota yang berjulukan Kota Pelajar itu. Jalannya yang diramaikan oleh para pejuang ilmu. Beberapa diantaranya berkaca mata minus yang sering dikaitkan dengan hal baca buku. Entah mereka benar-benar hobi membaca atau tidak, yang jelas banyak yang terlihat membawa buku kemana-mana. Toko buku juga menjamur, hal yang termasuk langka di negeri ini. Karena umumnya kita lebih suka makan daripada membaca. Serta biaya makanan yang memahami benar kondisi gizi pelajar negeri ini.
Aku sekarang berada di Kampung Inggris. Sebenarnya statusku belum jelas akan berapa lama tinggal di sini. Kejelasan statusku sejauh ini adalah salah satu calon penerima beasiswa Teaching Clinik oleh lembaga Global English. Setelah melakukan administrasi, aku seharusnya ditempatkan di camp khusus untuk peserta. Tapi kata petugasnya, camp itu sudah penuh. Jadi aku diarahkan untuk tinggal di camp member reguler. Kebetulan ada kamar kosong di sana.
Tiba di camp tersebut, beberapa orang beramah tamah menyapaku. Berjabat tangan, berkenalan dan bercanda sejenak. Beberapa juga tampak tidak peduli.
“Saya, Nizwa. Bisa dibilang tutornya di sini. Miss silahkan masuk di kamar itu. Kalau ada apa-apa kabari saya.” Seorang perempuan berwajah khas Jawa mengarahkanku ke sebuah kamar.
Aku melangkah ke kamar yang dimaksud. Kudengar pembicaraan sesama penghuni camp ini. Mereka memakai bahasa Inggris kecuali ketika menyapaku.
Ketika aku masuk ke kamar. Rupanya sudah ada orang lain di dalamnya.
“My name is Zen. Lengkapnya Hozen. Asli orang Kediri.” Dia memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris bercampur bahasa Indonesia.
“Aku Alan, Alannadya dari Riau.”
“Wah, is amazing !” Zen tiba-tiba memekik tertahan. Matanya membelalak antusias.
“Kenapa?” Aku terkejut dengan respon Zen diluar dugaan.
“Orang Melayu kan? Aku suka dengar bahasa Upin dan Ipin.” Zen tertawa senang.
“Iya, Riau identik dengan Melayu. Tapi aku Bugis.” Aku sedikit bingung dengan keramahannya yang berlebihan.
Matanya membelalak lebih besar.
“Wah, awesome! Kamu penuh kejutan. Aku suka Bugis. Sudah lama ingin belajar bahasa Bugis.”
Aku tersenyum tanggung, “aku penuh kejutan” katanya. Tidak sadar dirikah dia, sudah dua kali mengejutkanku di satu menit pertama kenalan.
Setelah itu jauh lebih mengejutkan. Karena Zen heboh mengajakku bercerita apa saja lalu tertawa bersama. Tidak pernah terpikir bahwa kami bertemu untuk bersaing memperebutkan kuota beasiswa.
Zen juga unik. Mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ketika aku tanya kenapa.
“Sebagai pemantasan diri. Sebelum benar-benar diterima jadi TC,” jawabnya dengan yakin.
“Luar biasa percaya diri” candaku.
Zen memperlihatkan buku-buku tebalnya.
“Jika percaya diri saja tidak cukup. Maka cukupkanlah dengan belajar.”
“Kamu tahu apa yang harus dipelajari?” tanyaku.
“Kamu gak tahu?” Zen malah bertanya balik.
Aku menggelang.
“Gak ada persiapan?” kejarnya.
Aku menggeleng lagi.
Bagaimana ada persiapan. Perjalanan serba mendadak. Mempersiapkan persyaratan administrasi, menulis esai dan mengirimnya di malam penutupan. Bahkan pemberitahuan kelulusan berkas administrasi itu baru kuterima satu hari yang lalu. Ketika kakiku baru saja keluar dari bandara Internasional Soekarno Hatta di Jakarta.
Betapa kacaunya hidupku.
“Tidak masalah, seleksinya lusa. Masih ada waktu, kita bisa belajar bareng. Aku sengaja tidak pulang ke rumah padahal tidak terlalu jauh. Aku mau konsentrasi belajar di sini.”
“Seniat itu?”
“Selain percaya diri aku juga realistis.” Zen menyodorkan beberapa buku, “kamu bisa menggunakan buku-bukuku.”
Buku panduan tes Psikotes dan buku bahasa Inggris untuk pemula itu berpindah tangan.
“Terimakasih Zen.”
“Welcome."
Meskipun lahir di Kampung Inggris, kenyataannya Zen tidak terlalu pandai berbahasa Inggris. Alasannya sejak SMA sampai kuliah dia sudah merantau ke kota Surabaya demi belajar di perguruan yang dia inginkan.
Ketika kubantah, seharusnya dia belajar sejak masih bayi, kan lahir di Kampung Inggris. Zen menjawab dengan wajah sedih yang berlebihan.
"Itulah dosa terbesarku. Bahkan sejak embrio aku tidak suka bahasa Inggris, kecuali sekarang.”
Sebenarnya selain Zen ada seorang lagi di kamar ini. Perempuan sebaya kami yang sedang menunggu wisudanya disalah satu perguruan swasta di Yogyakarta jurusan Pariwisata. Dia berasal dari daerah indah Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Namanya Nina Nurrahmah. Perawakannya mungil. Matanya bulat dengan wajah lonjong. Memakai kaca mata. Seolah menjelaskan banyaknya prestasi yang dia miliki. Aku tahu itu ketika membaca kertas CV nya. Kertas itu memang harus kami persiapkan untuk mengikuti seleksi.