#PARE(tidak)JAHAT

Ilma Wahid
Chapter #4

Rapat Penting

Pagi menggeliat di Kampung Inggris yang terkenal ini. Banyak orang yang tertarik dan menanyakan bagaimana sejarahnya.

Awalnya di sini hanya ada satu lembaga kursus yang didirikan oleh sosok bersahaja bernama Kalend Osen. Seorang santri di pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1976. Kalend keluar dari pesantren karena tidak ada biaya. Sekaligus tidak bisa pulang kampung, ke Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur karena alasan yang sama. 

Kalend akhirnya ke Pare untuk belajar pada KH. Ahmad Yazid, orang alim yang menguasai delapan bahasa. Kalend belajar tanpa mengeluarkan biaya di pesantren Darul Falah, milik si Tuan Guru Yazid.

 Singkat ceritanya, Kalend akhirnya menjadi guru bahasa Inggris dan mendirikan lembaga kursus pertama yaitu Basic English Course (BEC) di Pare. Kelas perdananya hanya enam siswa. Sebelum perlahan dikenal luas dan membuka beberapa cabang. Tahun 1990-an, Kalend mendorong para alumni BEC agar membuat lembaga kursus demi menampung pelajar yang semakin banyak. Lembaga kursus di Pare pun tumbuh seperti jamur di musim hujan. Hingga saat ini ada lebih 250 lembaga kursus.

Menyerupai sebuah perkampungan.

“Welcome to Asvi camp!”

Zen berteriak senang. Memelukku. Terkadang aku sedikit risih dengan sikapnya yang heboh dan berlebihan.

“Kamar kita yang mana?” aku bertanya bingung, memandang sekeliling. Lenggang. 

Ada enam kamar yang berjejer membentuk garis horizontal menghadap halaman yang tidak terlalu luas. Halaman ini tidak beratap melainkan ada sepohon ceri yang rimbun. Di depan kamar yang paling sudut ada aula kecil dijejeri beberapa lemari pelastik, rak piring, satu kompor gas, dan TV. Disebelahnya ada tiga kamar mandi.

Camp khusus untuk penerima beasiswa TC. Sebuah model indekos yang sederhana.

“Mana kutahu, mungkin ini.” Zen menunjuk sebuah kamar di depan kami.

“Atau tidak yang itu” Menunjuk kamar yang lain.

“Bisa jadi yang itu.” Menunjuk ke kamar yang lain lagi.

“Iya, tidak mungkin yang itu” Aku menunjuk dengan kesal ke arah tiga kamar toilet.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh seseorang yang keluar dari kamar paling ujung. 

“Hy … member TC juga?” sapanya. Dia adalah perempuan seumuran kami.

“Iya.” Kami menjawab kompak.

“Semua kamar sudah terisi. Hanya saja para penghuninya banyak yang tidak ada. Izin pulanglah, pergi beli makananlah,” tuturnya tanpa kami minta.

“Jadi ...?” pertanyaanku menggantung. 

“Jadi benar, kita akan tinggal di toilet,” bisik Zen cekikikan.

“Kalian datang lambat sih.” Perempuan tadi mengucapkan itu bagai mengucapkan selamat datang.

Aku mengutuk dalam hati.

“Satu kamarnya berapa orang?” tanyaku.

“Gak tahu juga ya. Coba nanti kita tanya tutor pengasuh,” jawabnya dengan wajah tidak berdosa. “Hampir lupa, perkenalkan aku Hilda, kita di sini senasib.” 

Lihat selengkapnya