Aktivitas kami dibuka dengan buru-buru.
Jam 03:00 seseorang sudah bangun. Mengguyur tubuhnya dengan limpahan air dingin. Keciprak suara air mandi itu bagai alaram. Membangunkan penghuni camp untuk segera menyusul. Terbangun, menguap sembari menuju kamar mandi. Dimulailah keributan ini. Semakin banyak yang bangun berarti semakin panjang garis antrian. Wajah-wajah mengantuk dipaksa menunggu. Apalagi saat sudah kebelet. Ini seperti mimpi buruk di subuh buta.
Setelah menunaikan sholat subuh bagi yang muslim. Baik berjamaah di aula atau di kamar masing-masing, kami langsung disuguhi dengan morning program. Itulah jadwal terpagi pukul 05:00 dan harus hadir tepat waktu. Keterlambatan semenit harus dibayar. Uang itu kami gunakan untuk kepentingan bersama, seperti membeli sabun kloset, sabun cuci piring, gas kompor, sapu, sampai membeli kuaci yang dimakan saat berkumpul.
Hal yang seru jika diantara kami yang tidur bagaikan orang mati. Lalu melesat seperti kuntilanak ke kamar mandi. Panik dan kewalahan. Sementara kami berhitung cepat sekaligus menyemangati sambil tertawa ria dari aula.
“One!”
Pagi pertama ini adalah Hilda. Sepertinya dia sudah mengawali masa jabatan captain-nya dengan manajemen yang kacau.
“Brak!” Pintu kamar mandi yang dibanting buru-buru.
“Two!”
Suara langkah kaki tergesa-gesa dari kamar mandi ke kamar tidur.
“Three!”
“Buk!” Pintu kamar ikut terbanting.
“Four!”
“Five!”
“….”
Disetengah detik menuju hitungan 11, Hilda duduk diantara kami dengan nafas yang memburu.
“Sorry.”
“Hu ... !” Kami bersorak semangat.
Lihatlah, manusia-manusia yang mendapatkan kebahagiaan dari penderitaan teman. Padahal katanya seperjuangan.
Sejak program pagi itu berlangsung, berarti aktivitas kami benar-benar sudah dimulai. Pertama, aturan main di asrama ini sudah dijelaskan dan diberlakukan. Salah satunya adalah harus berbahasa Inggris selama berada di camp. Istilah ini disebut English Area. Untuk mengatakan benda atau kalimat yang tidak diketahui, maka boleh mengatakan dalam bahasa Indonesia yang diikuti dengan kalimat “how to say” per satu kata.
Maka sangat logis ketika “how to say” dikalangan kami sangat trending. Seperti isu hangat yang diperbincangkan dimana-mana. Sama halnya dengan ucapan “something like that,” ini adalah jurus pemungkas. Seringkali kami menerangkan suatu hal, yang seharusnya sederhana tapi kemudian menjadi rumit. Maka jalan tikusnya adalah frasa “something like that” urusan pun selesai.
Mendadak pagi itu kami jadi sekelompok pendiam.
Aku, Zen dan beberapa yang lain sedang sibuk menghias diri di depan cermin besar di aula. Cacun sudah sedari tadi mengayuh sepedanya. Teman-teman yang lain tentu melakukan hal yang sama, bercermin ria, melilit jilbab, memasukan buku ke dalam tas, mencari sandal jepit dan lain-lain. Kecuali Hilda.
“Good morning, every one!"
Sempat-sempatnya Hilda berbasa-basi dengan kami yang sibuk. Sementara dia tidak kalah sibuk. Tubuhnya masih berkembam. Terbirit-birit dari kamar mandi ke kamar tidur.
“Oh my God. Hilda!” Zen memekik heboh.
“Ayoklah Zen, sekali-kali jangan menjengkelkan!” Hilda berteriak dari dalam kamar tidur.
“Yes! Lima kata!” Zen bersorak senang, demi pelanggaran kata.
“Some like you!" yang lain menimpali, tidak kalah girangnya. Zen tidak sadar telah mengucapkan bahasa Indonesia: lima kata.
"I made a mistake.” Zen tersenyum pahit, menyadari kesalahannya. Seharusnya dia mengatakan Five words.
Selanjutnya kami berbondong-bondong meninggalkan camp menuju Australia. Bagai keluar negeri saja. Padahal yang kami tuju hanyalah sebuah tempat, dimana beberapa kelas berderet dalam satu blok.
Rupanya lembaga memiliki beberapa tempat kelas yang terpisah lokasinya. Setiap lokasi diberi nama suatu tempat di luar negeri. Seperti Eropa, maka setiap kelas di Eropa diberi nama sesuai negara yang ada di benua itu. Misalkan, Belanda, Jerman dan lain-lain.
Australia kami tidaklah terlalu besar. Hanya berisi lima kelas yang berjejer sejajar. Halamannya memanjang sepanjang bangunan. Cukup menampung sepeda motor dan puluhan sepeda. Sudut paling ujung ada dua toilet umum.
Pukul 06:45 Australia sudah ramai. Lebih tepatnya diramaikan oleh kami. Toh kelas di Australia ini persembahan khusus untuk member TC. Kulangkahkan kaki memasuki kelas. Tampak meja-meja belajar setinggi lutut, busa tempat duduk, papan tulis, kipas angin dan saundbar.