Indonesia dalam segala hal terkenal tidak tepat waktu. Banyak yang bilang tidak suka. Tapi lebih banyak yang ikut menyuburkan. Dan kami menemukan kasus berbeda di TC.
Kelas Mr. Yulanda tadi dibuka lebih awal 5 menit. Sayangnya tetap tidak tepat waktu saat ditutup. Luar biasa semangatnya pertemuan pertama itu.
Semangat itu rupanya menimbulkan petaka baru. Kelas selanjutnya, kelas pronunciation B. Kami terlambat 4 menit. Sesederhana apapun bentuknya, masalah kedisiplinan adalah masalah besar di sini.
“Telat!”
Luar biasa penyambutan kelas terhadap yang telat. Kami tetap dipersilahkan duduk di kursi yang kosong. Aku duduk di samping Zen, akhirnya kami sekelas di sini. Dari kelas speaking C selain aku, ada Dewa, Hilda, Hamdi dan beberapa yang lain. Sedangkan sebagian yang lain menadapat jatah di kelas A.
“Ice breaking!” sorak yang lain.
“Apa itu ice breaking?” bisikku pada Zen.
“Eh, ada yang bisa jelasin. Alan nanya apa itu ice breaking.” Zen berteriak tanpa peduli pada perasaanku.
“Aduh, Alan, kamu dari hutan Indonesia sebelah mana sih. Sini biar kuajari!” Dewa sudah berdiri sambil membenarkan letak kaca matanya.
“Eh, dak boleh gitu. Kita telat karena Mr. Yulanda loh,” protes Hilda.
“Jadi kamu menyalahkan Mr. Yulanda? Saya kasi tahu nanti. Baru juga hari pertama," canda tutor perempuan di depan kelas.
Namanya Ms. Nidya. Sudah memperkenalkan dirinya katika kami dari kelas C belum masuk kelas.
“Hayo, Hilda!” sorak yang lain.
“Gak lah. Mr. Yulanda gak salah. Kami juga gak salah!”
“Udah jangan saling menyalahkan. Kasihan Alan,” sela Dewa.
Aku melongo. “Kok aku Dewa?”
Bukannya menjawab pertanyaanku. Dewa malah berkata untuk seluruh kelas.
“Karena kita adalah senasib. Maka semua yang telat harus dihukum. Anggap sebagai upaya bijak agar Alan tahu apa itu ice breaking.”
Dengan wajah tidak berdosanya Dewa maju ke depan kelas. Entah menertawakan Dewa yang tidak punya akhlak atau menertawakan keudikanku. Tapi siapapun di kelas ini, berpotensi untuk dibuli dan membuli.
Terbentuklah satu jejeran di depan kelas. Seperti sekelompok pesalah yang sedang dihakimi. Dewa dengan senang hati menjadi memimpin.
Dewa menari dengan semangat. Perut buncitnya bergerak-gerak.
“Open ... banana"
“Cut ... cut ... banana.”
“Eat … eat banana”
Alamak, dia memimpin kami joget-joget banana. Gerakan monyet memakan pisang. Oh, ini rupanya ice breaking. Aku tahu kegiatan ini hanya tidak tahu nama kerennya.
Kegiatan pertama kelas pronunciation adalah mengetahui tingkat kefasihan bahasa Inggris kami. Diukurlah dengan mengucapkan beberapa kalimat. Disitu aku sadar seharusnya bahasa Inggris tidak hanya dibuat dengan tiga aksen: Amerika, British dan Australia. Tapi juga sunda yang mendayu-dayu. Batak yang membentak-bentak. Bugis yang menyanyi dan Jawa yang medok. Banyak lagi aksen yang terdengar unik dan udik.
Ms. Nidya membuka kacamatanya. Meletakkan di atas kepala. Alisnya yang sedari tadi berkerut mendengarkan berbagai aksen, akhirnya terangkat bersamaan helaan nafas yang panjang.
“Ada yang mengatakan, belajar bahasa Inggris itu seperti mengajarkan bayi untuk berbicara. Tapi hari ini saya rasa teori itu kurang tepat untuk kita.”
Ms. Nidya memandang seisi kelas. Menunggu respon.
“Loh, Kenapa Miss?” tanya Timor.
Ya, aku sekelas dengan Timor di kelas ini. Sebelumnya di kelas speaking, dia di kelas A.
“Hm … lebih payah dari bayi. Tidak sekedar mempelajari aksen baru. Tapi juga menghapus aksen lama. Tidak lucu bahasa Inggris logat Melayu, Bugis, terutama Jawa, medok sekali.” Ms. Nidya berbicara sambil menirukan aksen kami.
“Dengarkan, ini aksen British ….”
Mengalirlah bahasa Inggris Ms. Nidya yang kurasa lebih baik dari bahasa Indonesiaku yang beraksen Melayu.
Aku terpaku.
“Dan ini adalah aksen American ….”