Menjelang azan Zuhur berkumandang, Mr. Gaza pun menutup kelas. Aku segera membereskan peralatan belajarku. Memasukan ke dalam tas sandang hitam, model karung bertali dengan tulisan “Kampung Inggris”. Tas ini kubeli dari toko aksesori yang berserakan di sepanjang jalan di sini.
“Pulang?” tanya Zen kepadaku.
“Iya, kamu?”
“Gak deh, aku di sini aja.”
“Makan? Sholat? Tidur?” tanyaku memastikan.
“Semuanya bisa di sini kan?” Zen menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Aku mengangguk. “Ok, this true.”
“Eh, cewek-cewek, sadar gak sih kelas kita di Ausi ini ada lima kali. Plus tugas-tugasnya. Kalau mau bolak balik ke camp buang waktu, tahu.” Dewa memprovokasi dengan gaya centilnya. Sambil membetulkan letak kaca mata.
“Aku tetap mau pulang," putusku.
“Jalan kaki?” tanya Dewa lagi.
“Gak Dewa. Nunggu kamu ngirim jet pribadi,” jawab Zen.
“Terserah kalian, ah.”
Dewa sudah menyusun busa-busa tempat duduk itu menyerupai sofa panjang. Lalu dengan seenak hatinya baring di sana, di tengah kelas.
“Hei … yang mau beli makan, nitip dong!” Hilda berseru kepada siapapun di kelas.
“Emangnya kamu dak pulang Hil?” tanyaku.
“Camp itu cuma formalitas. Lebih baik sering di kelas biar lebih fokus belajar?” Hilda tersenyum lebar.
“Sekarang, kita juga lagi di kelas. Tapi untuk tidur,” bantah Dewa.
Sepertinya dalam segala hal Hilda dan Dewa suka berdebat, meskipun itu tidak penting. Zen juga memutuskan tinggal di kelas. Begitu juga Timor dan yang lain.
***
Ketika aku sampai di camp, separuh dari kami tidak pulang. Alias memutuskan tetap tinggal di kelas.
Kubuka pintu kamarku. Dua kasur tidur kami sudah ditumpuk. Selebihnya berantakan. Dampak dari jadwal pagi yang padat. Sekarang pun bukannya membereskan, aku malah membanting tubuhku di kasur. Diantara serakan barang.