Hari-hari terus berlalu. Aku mulai terbiasa dengan kesibukan di sini. Bangun dan mandi sebelum subuh. Langsung disuguhi kegiatan camp, morning program. Disambung dengan kegiatan belajar di kelas. Dua kelas speaking, dua kelas grammar dan satu kelas pronunciation. Total lima kelas di Australia. Pulang menjelang shalat Magrib. Rasa lelah kami disambut oleh program malam di camp. Belum lagi tugas-tugas yang harus dikerjakan.
Semua kesibukan itu bercampur aduk dengan kesibukan pribadi masing-masing. Perkara seputar cuci baju, masak, makan, mandi, piket camp dan jeritan gawai dari pacar.
Meskipun aku sedang berhemat sampai hampir mati, tidak bisa tidak, aku menggunakan jasa cuci baju dan membeli makanan langsung jadi. Cukup murah dan aku selalu mencari yang termurah. Dengan sedikit sambal dan banyak nasi, aku biasa membayar dengan harga seporsi nasi tanpa lauk, 4 ribu rupiah. Lebih hematnya lagi aku menjalankan puasa Daud. Sehari berpuasa sehari berbuka dan biasanya tanpa makan sahur. Makan malamku setelah program camp pada jam 19:00 sekaligus sahur. Berbuka pun hanya dengan seporsi nasi sekaligus makan malam.
Inti dari semua penderitaan yang menyenangkan ini adalah menguasai bahasa Inggris.
Menaklukkan grammar. Teori dari Mr. Gaza memang terdengar sederhana. Nyatanya menganalisis kalimat tidaklah sesederhana itu. Aku sendiri, entah kenapa belum bisa memahami grammar. Pertemuan pertama, katanya lumrah merasakan sulit. Pertemuaan kedua sama sulitnya. Pertemuan selanjutnya, tidak ada yang berubah.
Aku semakin terpuruk ketika Mr. Gaza gemar sekali memberikan soal-soal latihan. Latihan hampir disetiap akhir pertemuan.
“Alan sini.” Mr. Gaza duduk di depan mejaku.
“Gimana? Dari penjelasan saya tadi, tidak pahamnya dimana?” tanyanya dengan penuh pengertian. Seolah tidak ingin menyinggung harga diriku.
“Tidak paham semua Sir," jawabku jujur tanpa mempertimbangkan perasaannya.
“Gak masalah. Ayok kita belajar.”
Mr. Gaza mengambil buku dan penaku. Siap menulis. Sebelum sesuatu yang lain jatuh di atas kertas putih itu.
“Eh, kamu nangis?” Mr. Gaza memandangku panik.
Aku menunduk. Terpuruk. Bukan hanya karena tidak tahu. Juga malu bukan main. Lihat, semuanya sibuk mengerjakan soal. Dan Mr. Gaza di tengah kesibukan mengajar empat belas orang, mengkhususkan perhatiannya untukku. Sedangkan aku, sibuk mengelap air mata dan ingus.
"Tidak paham itu biasa kok,” pujuk Mr. Gaza.
Aku tidak ingin menangis sebenarnya. Tapi iba hatiku tidak bisa kucegah. Malang betul nasib badan ini.
“Aku jahat banget ya. Kita ketemu baru beberapa kali dan sudah buat nangis.” Mr. Gaza mencoba bercanda.
"Gak Sir. Aku cuma sedih. Kenapa cuma aku yang bodoh di sini."
Sebenarnya aku ingin tertawa tapi suaraku tertelan di kerongkongan. Keadaanku bertambah buruk ketika hidungku juga sudah ikut membanjir. Tidak lucu jika menetes di buku grammar.
“Kamu mau ke kamar kecil dulu?”
Aku mengangguk. Buru-buru ke kamar mandi. Menangis sejadi-jadinya.
"Tuhan kenapa aku begitu bodoh?"
***
Aku mendapatkan kenyataan bahwa aku memang bodoh. Setidaknya paling bodoh di kelas grammar. Kenyataan pahit itu semakin pahit ketika Mr. Gaza meminta agar pemeriksaan jawaban latihan kami oleh teman sendiri secara acak.
Bukuku diperiksa Hamdi. Sedangkan aku tidak memeriksa buku siapapun. Mr. Gaza sendiri yang mengambil jatahku.
Selama proses pemeriksaan jawaban, setiap kali Mr. Gaza mendiktekan kunci jawaban, setiap itu pula disambut heboh. Menyoraki jawaban teman-teman yang salah atau karena teringat pada jawaban sendiri yang salah.
“Sebutin ya, benarnya berapa.” Mr. Gaza bersiap-siap menulis skor kami.
“Siap Sir!”
Maka berderetlah angka-angka. Cerminan kejernihan otak memahami 10 soal.
“Hamdi betul enam.”
“Dewa betul tujuh.”
“Hilda betul lima.”
“Ya, buat malu saja,” gerutu Hilda.